BEBERAPA tahun setelah Muhammad SAW diangkat menjadi nabi, di Yatsrib (sekarang Madinah) sedang terjadi peperangan antara dua kabilah pribumi terbesar yang menempati wilayah itu. Aus dan Khazraj. Peperangan di antara dua kabilah itu berlangsung cukup lama dan menimbulkan kejenuhan pada sebagian pemuda dan cendikiawan di kedua belah pihak.
Pada waktu bersamaan, di Madinah santer terdengar berita akan datangnya seorang nabi terakhir yang membawa risalah pelengkap untuk risalah-risalah sebelumnya. Berita ini disebarkan oleh orang-orang Yahudi pendatang di wilayah itu, berdasarkan informasi yang mereka dapat dari kitab suci mereka, Taurat. Informasi yang mereka sampaikan cukup rinci. Dari tanda-tanda kenabian secara fisik dan perilaku, hingga informasi tentang kemenangan-kemenangan yang akan diraih serta kekuasaannya yang mencapai seluruh semenanjung Arab hingga wilayah-wilayah di luarnya. Siapa pun yang akan menjadi pengikut sang nabi terakhir akan menjadi bangsa yang kuat dan tangguh di bawah kepemimpinannya.
BACA JUGA: Sifat Sabar Rasulullah yang Tidak Terbayangkan
Berita ini hampir menjadi pokok pembicaraan setiap orang di Madinah, baik di tempat-tempat umum hingga di pasar-pasar, semua orang membicarakan tentang sang nabi terakhir yang akan datang.
Orang-orang Yahudi tidak hanya menyebarkan informasi itu kepada suku pribumi Madinah. Tetapi mereka juga mengatakan bahwa seandainya sang nabi terakhir telah datang, mereka (orang-orang Yahudi) itu akan menjadi pengikutnya dan akan mengusir orang-orang pribumi Yatsrib dari wilayah itu. Jelas hal ini menjadi ancaman bagi kabilah Khazraj yang merupakan kabilah terbesar di Yatsrib dan mereka tidak ingin terusir dari kampung halamannya.
Oleh karena itu, ketika mendapatkan informasi bahwa di Mekah ada seseorang yang mengaku sebagai nabi, beberapa orang pemuda kabilah Khazraj sepakat untuk berangkat menemui orang tersebut. Mereka yang berangkat itu adalah: As’ad bin Zararah, Auf bin Al-Harits bin Rifa’ah, Rafi’ bin Malik, Qutbah bin Amir bin Hadidah, Uqbah bin Amir bin Naabi, dan Jabir bin Abdullah bin Riab. Mereka tidak berani bertanya tentang sang nabi terakhir, karena dia adalah orang yang paling dibenci di Mekah. Mereka tidak berani masuk lebih jauh dan hanya berhenti di suatu tempat antara Aqabah dan Mina.
Pada malam yang sama, Rasulullah SAW keluar bersama Abu Bakar dan Ali menuju kediaman Dzahl dan Syaiban bin Tsa’labah, untuk mengajak mereka kepada Islam, Keduanya menyambut ajakan itu dengan sikap positif, tetapi mereka menolak masuk Islam. Sepulang dari tempat itulah, Rasulullah SAW bertemu dengan enam orang pemuda Khazraj yang sedang duduk-duduk di suatu tempat antara Aqabah dan Mina.
Mendengar suara berbincang-bincang mereka, Rasulullah SAW pun mampir untuk nimbrung. Di sela-sela pembicaraan itulah, Rasulullah SAW menyampaikan beberapa hal tentang Islam dan membacakan kepada mereka beberapa ayat al-Qu’an yang telah diturunkan kepada beliau, lalu mengajak mereka masuk Islam.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pepatah ini mungkin layak diungkapkan untuk menggambarkan peristiwa pertemuan itu. Allah SWT mempertemukan mereka dalam suasana yang sangat kondusif dan pada waktu yang sangat tepat.
Sebelum menerima ajakan Nabi SAW untuk masuk Islam, ada hal penting yang mereka sampaikan. Seandainya beliau mampu memimpin dan mempersatukan kabilah-kabilah di Yatsrib yang selama ini saling berperang satu sama lain, mereka dengan senang hati akan menerima ajakan beliau. Rasulullah SAW pun menyatakan kesanggupannya untuk memenuhi harapan mereka, asalkan mereka mau menerima Islam.
Setelah memastikan bahwa tanda-tanda kenabian yang ada pada Muhammad SAW sesuai dengan informasi yang mereka dapatkan dari kaum Yahudi Yatsrib, keenam orang pemuda Khazraj itu pun langsung mengikrarkan diri masuk Islam pada saat itu juga. Mereka pun kembali kepada kaumnya dan menyampaikan apa yang telah mereka dapatkan dari Rasulullah SAW. Perlahan tapi pasti, Islam pun berkembang pesat di Yatsrib melalui pembicaraan dari mulut ke mulut dan lewat delegasi resmi yang diutus oleh Rasulullah SAW untuk menyebarkan Islam di sana.
Islam berkembang pesat di Yatsrib, terutama di kalangan kabilah Aus dan Khazraj. Hingga ketika mayoritas penduduk Yatsrib sudah menerima Islam, mereka pun sepakat untuk memboyong Nabi SAW pindah ke Yatsrib, dan dikenal dengan peristiwa hijrah. Setelah hijrah, nama Yatsrib diganti oleh Rasulullah SAW dengan Madinahh.
BACA JUGA: Bersabarlah, Musibah yang Dihindarkan Lebih Banyak daripada yang Ditimpakan Padamu
Setelah Islam berkembang pesat di Madinah, kaum muslimin Madinah merasa sangat khawatir akan keselamatan Rasulullah SAW karena di Mekah beliau dihina dan diteror. Beberapa orang di antara kaum muslimin Madinah berkata, “Sampai kapan kita membiarkan Rasulullah SAW dihina dan diteror oleh orang-orang Quraisy, sementara kita hidup tenang dan nyaman di sini?”
Peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW ke Madinah adalah puncak kegigihan kaum muslimin Madinah untuk mengajak Rasulullah SAW pindah. Sementara orang-orang kafir Quraisy merasa kecolongan, karena Rasulullah SAW behasil lolos dari rencana pembunuhan yang mereka lakukan dan kini berada dalam perlindungan kabilah Aus dan Khazraj, dua kabilah terbesar penguasa Madinah. Kekhawatiran mereka tidak hanya karena Islam akan berkembang pesat di Madinah, tetapi juga karena Madinah juga merupakan wilayah straregis dan menjadi jalur yang dilintasi kafilah dagang para konglomerat Quraisy.
Sejak saat itu, kaum Quraisy bertegad membuat perhitungan dengan orang-orang Madinah. Terjadinya Perang Badar merupakan realisasi dari tekad mereka. []
BERSAMBUNG
Sumber: Kerajaan Al-Qur’an/Hudzaifah Ismail/Penerbit: Penerbit Almahira/2012