JAKARTA–Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Zainut Tauhid Sa’adi menyatakan tugas ulama di era saat ini semakin berat dan menantang. Bukan hanya profesi-profesi di sektor ekonomi, ulama pun tergerus di era Disrupsi (era di mana fenomena ketika masyarakat menggeser aktivitas yang awalnya dilakukan di dunia nyata beralih ke dunia maya-red).
Zainut Tauhid mengatakan, industri 4.0 memunculkan kondisi post truth, kondisi pasca kebenaran, dan itu membuat posisi ulama semakin berat dan menantang. Sebab, kebenaran yang disampaikan ulama sekalipun tidak akan diakui karena pengguna media sosial lebih meyakini ada kebenaran lain di balik itu (post truth).
BACA JUGA: BNPB Ungkap Peran Penting Ulama untuk Cegah Penyebaran Covid-19
Menurut dia, derasnya informasi dan pertukaran ruang yang cepat di dunia maya, membuat manusia yang berinteraksi melalui media sosial lebih sering mengandalkan aspek yang bersifat emosional.
Maka terjadilah fenomena post truth, yakni ketika situasi obyektif lebih sedikit pengaruhnya dibanding hal-hal yang mempengaruhi emosi dan kepercayaan personal dalam pembentukan opini publik.
“Post truth ini yang menyuburkan hoaks dan maraknya konten kebencian, termasuk kebencian atas nama agama,” kata Zainut Tauhid saat memberikan sambutan Milad MUI ke-45 secara virtual, Jumat (7/8/2020) di Rumah Dinas Wapres, Jakarta.
Apalagi, kata dia, masyarakat cenderung menyukai judul berita atau informasi yang bersifat provokatif dan adu domba, dan malas melakukan verifikasi atau tabayyun. Fenomena seperti ini bukan lagi terjadi di dalam negeri, namun sudah di level global. Populisme dan identitas kelompok semakin menguat di mana-mana.
Bahkan hal seperti ini juga terjadi di kalangan selain Islam. Bila dibiarkan terus terjadi, maka tugas ulama semakin berat dengan maraknya kekerasan atas nama agama.
“Penguatan identitas dapat berpotensi menuju eksklusivisme. Jika hal ini dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, dan jika ekslusivisme tercampur dengan ideologi kebencian, maka dapat melahirkan penghalalan tindak kekerasan atas nama agama,” katanya.
Dalam merespons tantangan ini, Buya Zainut menyarankan ulama bisa memulainya dengan menyuarakan teladan kebaikan. Salah satunya dengan mengacu kepada Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Ulama, lanjut dia, harus memupuk Islam Wasathiyah. Konsep ini menurutnya adalah jawaban tantangan zaman baik skala lokal, nasional, maupun global.
“Islam wasathiyah akan mengafirmasi sikap dan praktik keagamaan yang memiliki komitmen kebangsaan, penghormatan terhadap kearifan lokal, toleran, dan mengutamakan praktik beragama tanpa kekerasan,” katanya.
BACA JUGA: Kisah Taubat Wanita Cantik Penggoda Ulama
Ketua Panitia Milad MUI ke-45, Amirsyah Tambunan, bersyukur, Milad secara virtual ini, disemarakkan sambutan tokoh dari beragam kalangan. Mulai Ketua Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nasir, melalui rekaman, Rais Aam Syuriyah PBNU, KH Miftahul Achyar, yang tampil live, sampai dua mubaligh generasi muda yang tengah kondang, Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Adi Hidayat, keponakan mantan Ketua MUI Jawa Barat, KH Hafidz Usman.
Wapres Prof Dr KH Ma’ruf Amin, yang juga Ketua Umum MUI, memberi arahan mendalam, dan perwakilan MUI Provinsi menyampaikan harapan: Jawa Timur, Papua, Sumbar, DKI Jakarta, Gorontalo, dan Kaltim. []
SUMBER: MUI.OR.ID