Oleh: KH. Muhammad Cholil Nafis, Lc., MA., Ph.D
YANG dimaksud kufu’ atau kafa’ah dalam perkawinan adalah seorang laki-laki harus memiliki keseimbangan dengan calon istrinya, di mana wanita itu tidak dinikahi seorang laki-laki yang akan menyebabkan dirinya atau keluarganya menjadi terhina menurut kebiasaan atau tradisi masyarakat.
Dalam kitab al-Fiqih alâ al-Madzhâhib al-Arba’ karangan Abdurrahman al-Jaziry, disebutkan bahwa yang termasuk perkara kafa’ah adalah agama, keturunan, kekayaan, pekerjaan dan bebas dari cacat. Para fuqaha telah sepakat bahwa faktor agama termasuk dalam pengertian kafa’ah.
Tidak diperselisihkan lagi di kalangan mazhab Maliki, bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. Begitu pula halnya apabila ia dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata thalaq.
BACA JUGA: Bolehkah Menikah Jarak Jauh?
Fuqaha berselisih pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor kemerdekaan, kekayaan dan bebas dari cacat (aib). Menurut pendapat yang terkenal dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab, dan mengenai hal itu ia beralasan dengan firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi :
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
‘Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah SWT. ialah yang paling bertakwa di antara kamu’. (QS. Al-Hujarat: 13)
Akan tetapi dalam perkawinan hamba sahaya tersebut ulama Malikiah mempunyai dua pendapat: Pertama, jika hamba sahaya berkulit putih kawin dengan wanita merdeka maka perkawinannya kufu’. Kedua , jika perkawinan antara hamba sahaya berkulit hitam dengan wanita merdeka maka perkawinannya tidak sekufu’ dan itu merupakan aib.
Sufyan al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya. dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Silang pendapat ini disebabkan pendapat mereka tentang mafhum(pengertian) dari sabda Nabi SAW:
‘Wanita itu dinikahi karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita yang taat kepada agama, niscaya akan beruntung’. (HR. Bukhari dan Muslim)
Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi SAW : “…maka carilah wanita yang taat kepada agama.” Segolongan yang lain berpendapat bahwa faktor nasab (keturunan) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan. Dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah. Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap bebas dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah. Berdasarkan pendapat ini ada yang memasukkan kecantikan sebagai lingkup kafa’ah.
Di kalangan mazhab Maliki, tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya, begitu pula faktor kemerdekaan (bukan budak).
Mengenai mahar mitsil (yakni mahar yang semisal ukurannya), maka Imam Malik dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut tidak digolongkan sebagai kafa’ah. Oleh karenanya seorang ayah boleh mengawinkan anak gadisnya dengan mahar yang kurang dari mahar mitsil. Sedangkan Imam Hanafi memasukkan mahar mitsil sebagai kafa’ah.
BACA JUGA: Masuk Islam karena Hendak Menikah, Bagaimana Hukumnya?
Kesimpulan
Kafa’ah bukanlah syarat sah akad perkawinan. Ia hanya nasihat atau anjuran yang harus diperhatikan oleh pasangan yang akan menikah. Bahwa orang yang akan menikah diharapkan memiliki kesetaraan sosial dan agama agar setelah diikat dalam akad perkawinan tidak ada yang merasa dihina atau diperlakukan tidak terhormat oleh pasangannya dengan alasan status sosial atau lainnya.
Adanya kafa’ah ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kebahagiaan bagi pasangan yang akan menikah pasca akad pernikahannya nanti. Jadi, bukan berarti Islam mengajarkan kasta atau kelas sosial. Tetapi justeru Islam memahami karakter manusia sedalam-dalamnya sehingga sebelum kemafsadatan terjadi dalam hubungan suami istri, Islam sudah memberikan peringatan. []
SUMBER: CHOLILNAFIS.COM