Oleh: Hanum Hanindita, S.Si, Guru SD Khoiru Ummah 25 Bekasi
WACANA feminisme muncul sebagai perlawanan terhadap struktur dan sistem yang melakukan penindasan atas nama gender. Singkatnya feminisme menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria dengan mengusung ide Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG)
Ide feminisme ini begitu kuat mengakar di benak-benak perempuan Indonesia, termasuk kaum Muslimah. Contohnya banyak wanita yang berorientasi karir ketika lulus kuliah atau sekolah. Orientasi karir tersebut umumnya dibangun berdasarkan keinginan untuk mengejar materi. Namun adapula yang bertujuan mengeksiskan diri di ranah publik dengan tujuan ingin dipandang sebagai wanita yang mandiri, hebat dan tidak kalah oleh kaum pria.
Di level pemerintahan juga semakin terlihat menjamurnya ide feminisme. Di tahun 2014 banyak perempuan yang berlomba-lomba untuk “nyaleg” sekalipun tidak memahami dengan pasti ranah pekerjaannya. Kita ketahui juga saat ini kursi menteri di Indonesia diduduki oleh kurang lebih 30% menteri perempuan. Keberadaan mereka diharapkan mampu melahirkan kebijakan untuk mengedepankan kepentingan kaum perempuan yang tertindas serta memberikan ruang gerak yang bebas bagi mereka.
BACA JUGA: Henri Shalahuddin: Feminisme adalah Teori, LGBT Praktik Nyatanya
Serangan Terhadap Islam
Para feminis menyebutkan bahwa kekerasan dan adanya diskriminasi terhadap perempuan merupakan hambatan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender. Mereka menggambarkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah hasil dari hubungan antara pria dan wanita yang tidak seimbang (kepemimpinan ada pada pihak laki-laki) sehingga menyebabkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan serta menghalangi kemajuan kaum hawa tersebut.
Mereka mengemukakan fakta kepemimpinan dalam masyarakat yang menerapkan ajaran Islam ada pada pihak laki-laki. Dari sinilah mereka mulai menggugat hukum Islam dan berusaha mengubahnya dengan alasan bias gender. Menurut mereka, harus ada penjelasan dan penyusunan ulang hukum-hukum Islam yang dinilai bias gender.
Buktinya adalah Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) kembali mengemuka di penghujung masa kepengurusan DPR RI 2009-2014. Kemunculan RUU KKG setelah dua tahun mati suri, terkesan sangat tertutup. Bahkan tiba-tiba dikabarkan telah diloloskan oleh Badan Legislatif dengan mengedepankan asas netral agama. Di samping tertutup, penyusunan kembali draft RUU KKG ini juga cenderung hanya dikonsultasikan kepada lembaga-lembaga dan LSM perempuan yang sejalan dengan ideologi feminisme dan gender.
Asas netral agama yang dimaksud sudah tentu mengerucut kepada “penetralan aturan” yang berasal dari Islam. Hal ini dikarenakan hanya Islam yang mempunyai aturan jelas tentang kedudukan laki-laki dan perempuan baik dalam skala personal, masyarakat, sampai ke pemerintahan. Mereka memposisikan Islam sebagai hambatan bagi tercapainya Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG). Mereka menilai bahwa Islam menghambat kemajuan wanita.
Beberapa hukum Islam yang digugat oleh aktivis feminis antara lain hukum perwalian, hukum pembagian waris, dan masalah poligami yang dianggap tidak adil dan menyakiti perempuan. Mereka juga menanamkan keraguan pada para muslimah terhadap kebenaran islam, khususnya dengan mempertanyakan keadilan Islam dalam memperlakukan perempuan.
Bahaya bagi Perempuan dan Umat
Agenda gerakan feminisme ini berupaya menyeret sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk meninggalkan kewajiban utamanya sebagai ummu wa rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga), lalu menjadi feminis sejati yang sukarela membebaskan diri dari hukum Islam. Lihat saja saat ini banyak perempuan yang dengan bangganya berkarir dan berprestasi di ranah publik tetapi merasa tidak masalah ketika meninggalkan tugas utama mereka sebagai pendidik generasi.
Semakin rusaknya ide-ide ini bisa dilihat dari berbagai ide turunan yang lahir darinya. Ada hak kebebasan reproduksi, yang menyatakan bahwa perempuan itu berhak untuk memilih apakah dia ingin hamil atau tidak, ingin menggugurkan kandungannya atau tidak. Perempuan juga bebas untuk melakukan hubungan intim dengan siapapun, tanpa ada paksaan. Dan banyak lagi ide-ide turunan lainnya yang sama sesatnya.
Semua ini jelas tidak akan membawa kebahagiaan pada perempuan. Sebaliknya, malah menambah kesengsaraan. Bayangkan bila perempuan dibiarkan aborsi, berapa banyak bayi-bayi tak berdosa yang menjadi korban. Tak hanya bayi, ibunya pun akan mengalami kerusakan rahim. Pergaulan bebas juga akan mengakibatkan bencana bagi perempuan berupa penyakit menular seksual.
Feminisme akan membawa kerusakan pada level individu, keluarga dan masyarakat yang telah mapan dengan nilai-nilai Islam. Ide ini hanya akan membuat kerusakan dan kebobrokan terhadap kehidupan masayarakat.
Islam Memuliakan Wanita
Islam memiliki pandangan yang khas tentang pola hubungan laki-laki dan perempuan. Pola hubungan tersebut bertujuan untuk saling melengkapi dan mendukung satu sama lain. Dengan segala potensi mereka yang berbeda itu, mereka harus bekerja sama untuk membangun masyarakat dan peradaban. Karena berbagai perbedaan itu jugalah Islam menghadirkan hukum-hukum yang berbeda antara keduanya.
BACA JUGA: Camilla Leyland: Ketika Saya Masuk Islam, Seks Bebas Jadi Tak Ada Artinya Lagi
Hukum-hukum Islam justru diarahkan untuk membawa kemaslahatan bagi perempuan. Misalnya, dengan kewajiban menutup aurat, perempuan akan terjaga dari berbagai pelecehan. Islam juga menetapkan perempuan menjadi pengatur rumah tangga, sesuai dengan karakteristik mereka. Islam membolehkan perempuan untuk menjadi apapun yang mereka mau, bahkan ke ranah publik sekalipun selama hal itu tidak bertentangan dengan hukum Islam dan tidak melalaikan tugas utama mereka untuk menjadi ibu dan pengatur rumah tangga.
Sikap Kita
Demikianlah para feminis terus-menerus mempropagandakan ide-ide sesatnya. Jangan sampai kita ridho dan membiarkan ide-ide sesat ini menghancurkan perempuan dan kehidupan umat. Oleh karena itu, marilah kita bersatu berjuang melawan ide feminisme dan ide liberal lainnya. Namun, kita tidak akan bisa melibas ide feminisme maupun liberalisme sampai ke akar-akarnya kecuali kita memiliki kepemimpinan politik secara internasional, yaitu Khilafah ’ala Minhaj an-Nubuwah. Wallahu a’lam bishawab. []