“GIMANA, Mbah?” Ceu Mun bertanya penuh harap.
Di hadapannya, duduk bersila Mak Edah, mengenakan selendang, matanya tertutup, mulutnya komat-kamit,
“Hmmm… sebentar.. sebentar…” Mak Edah terdengar berdesis. Bau kembang dan kemenyan menguar di kamar itu.
“Iya…mbah?” Tanya Ceu Mun lagi.
“Hmmm… nyata sudah, suamimu itu… hmmm kepincut wanita lain… Wanitanya cantik, punya warung… ada di sebelah kiri kampung…”
Ceu Mun menjerit, “Tuh kan bener perasaan aku. Emang eta tukang warung keganjenan, tukang rebut suami orang. Aduuuh, geus teu tahaaan, pokona aku bakal datangin dia nanti malam juga…”
BACA JUGA: Sepatu
Mak Edah berdesis lagi, “Sok aja, emang pelakor kudu digituin…”
Ceu Mun mengernyit, “Mbah… ning tahu… pelakor….?” (Mbah kok tahu pelakor?)
Mbah, eh Mak Edah mengebaskan tangannya, “Hish… eta mah udah biasa atuhhh… ”
“Eh, iya yah…” Ceu Mun menukas.
“Nah Mbah, kalau untuk suami saya, apa atuh yang harus saya lakukan sama dia?”
Mak Edah mendesis, “Kalau mau tidur, kasih dia kopi, tong poho purulukan uyah satengah sendok mah, bacakeun jampe ‘sing bageur, sing balik deui’. Gitu yah…” (Kalau mau tidur, kasih dia kopi, jangan lupa tuangkan garam setengah sendok, bacakan jampi ‘Yang baik, dan segera kembali lagi‘)
“Baik Mbak, saya laksanakan… Nuhun ya Mbah atas wangsitnya…” (Nuhun = Terima kasih)
“Iya sama-sama…” Mak Edah mendesis kemudian tubuhnya melemah, dan terkapar di lantai. Sejenak kemudian, ia membuka mata dan mengambil air minum. Ia tampak kepayahan, “Enggeus Mun, naon ceunah ceuk si Mbah?” tanyanya pada Ceu Mun. (“Udah Mun, apa kata si Mbah?)
Ceuk Mun cerita. Mak Edah mendengarkan.
“Mak, enggeus nya, Mun pamit. Nuhun nya Mak… Ieu jang Mak ku Mun titipkeun ke Mang Sardi di hareup…” Ceu Mun beranjak dari duduknya sambil menyalami dan mencium tangan Mak Edah. (Mak udah ya, Mun pamit. Terima kasih ya Mak… Ini buat Mak Mun titipkan ke Mang Sardi di depan)
Di depan, Ceu Mun memberikan uang senilai 20 ribu ke Mang Sardi, suami Mak Edah.
“Naon ceunah ceuk si Mbah?” tanya Mang Sardi. (“Apa kata si Mbah?”)
Ceu Mun kembali menceritakan seperti yang ia ceritakan pada Mak Edah.
Mang Sardi mengangguk-angguk kepalanya. Ceu Mun pamit.
Mang Sardi masuk ke dalam rumah. Sekarang sudah jam 5 sore. Tapi alangkah kagetnya dia ketika melihat istrinya berguling-guling di lantai, mulutnya mendesis-desis. Mang Sardi memanggil-manggil istrinya, sambil berkata-kata dalam hati, “Jangan-jangan sebenarnya si Edah bener bisa ngedatangin Mbah?”
“Mbaahhh…. Mbahh… ” Mang Sardi memanggil istrinya perlahan, dengam suara khidmat.
Mak Edah diam. Ia berusaha duduk. Kemudian memegang dadanya dengan dua tangannya. Ia berdesis, “Bapana budak…” (Bapaknya anak-anak…)
BACA JUGA: Suami, Dengarkanlah Istrimu!
Mang Sardi diam. Takut, bercampur heran.
Di depannya, perempuan yang sudah hidup bersamamya lebih dari 35 tahun bersuara lagi dengan masih mendesis-desis, “Ari sangu nu beurang tadi masih aya?… Kadieukeun geura… uing jiga na salatri…” (Nasi yang tadi siang masih ada? Berikan sini, aku sepertinya salatri. Salatri = kondisi badan lemas karena tidak makan dalam jangka waktu yang cukup lama)
–
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad no. 9532) []