MANUSIA hidup di dunia seperti seorang musafir yang berhenti sejenak di suatu tempat, hanya untuk beristirahat dan mengumpulkan persediaan bekal. Kemudian melanjutkan perjalanan kembali untuk sampai ke tujuannya.
Itulah hakikat kehidupan manusia di muka bumi ini, bahwa setiap dari kita pada dasarnya adalah seorang musafir yang sedang berjalan menuju kampung akhirat yang kekal.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT semata-mata untuk beribadah. Akan tetapi sifat manusia selalu tak lepas dari dosa. Ketika seseorang tergelincir ke dalam lembah kejahatan dan menyadari bahwa hal itu adalah perbuatan dosa, maka dia harus segera kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, meninggalkan kesalahannya dan bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan tersebut di masa depan.
BACA JUGA: Kejujuran Ka’ab bin Malik dan Taubatnya
Ash-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, “Arti dari bahasa pertaubatan kembali. Artinya taubat itu kembali kepada jalan Allah dan menegaskan tidak akan mengulangi kesalahan tersebut.
Pertaubatan yang terbesar dan yang paling dibutuhkan adalah pertaubatan dari kekafiran kepada iman.
Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah kepada orang-orang kafir, jika mereka berhenti (dari kekafirannya bertaubatlah), Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (Al-Anfal: 38)
Kemudian tingkat berikutnya adalah pertaubatan dari dosa-dosa besar, pertaubatan berikutnya yaitu dari dosa kecil. Dan wajib bagi setiap orang untuk bertaubat kepada Allah dari segala dosa.” (Syarhu Riyadhis Shalihin, 1/38)
Bertaubat kepada Allah adalah kewajiban yang diperintahkan Allah SWT, sebagaimana Firman-Nya, “Hai orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nashuhaa (pertaubatan murni) mudah-mudahan Tuhanmu akan menghapus dosa-dosamu dan menempatkanmu di bawah Jannah yang mengalir sungai-sungai.” (At-Tahrim: 8)
Allah SWT juga berfirman, “Dan kamu bertaubat kepada Allah, Hai orang beriman supaya kamu beruntung.” (An-Nur: 31)
Dalam hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “Wahai semua orang, bertaubat kepada Allah, sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya seratus kali sehari.” (HR. Muslim, no. 7034)
BACA JUGA: Kisah Taubatnya Al-Fudhail bin Iyadh, Mantan Rampok yang Jadi Cendikiawan Muslim
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Para ulama telah sepakat (ijma) tentang perlunya pertaubatan, dari perbuatan dosa dapat menghancurkan pelakunya dan menjauhkannya dari Allah Ta’ala, maka harus menghindari segera.”
Jadi, kewajiban pertaubatan harus segera dilaksanakan dan tidak boleh ditunda, karena semua perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam harus dilaksanakan dengan segera jika tidak ada argumen yang memungkinkan penundaan. Bahkan para ulama menjelaskan bahwa menunda pertaubatan adalah dosa yang memerlukan pertaubatan tersendiri. []