Oleh: Arief Siddiq Razaan
PARA pegiat pacaran kerap mengalami gangguan psikologis cemburu buta. Sejujurnya, cemburu karena melihat orang yang kita cintai dekat dengan orang lain itu wajar. Tetapi pahami dulu ‘kapasitas’ Anda itu sebagai apa dalam hidupnya? Jika sebatas kekasih, maka cemburu berlebihan juga cukup menggelikan. Bukankah cinta ialah pilihan. Kepada siapa hati akan berlabuh itu rahasia Allah Subhana wa Ta’ala.
Itulah mengapa sebaiknya hindari pacaran, sebab ‘pacar’ itu seumpama ‘kekasih gelap’. Kalau ada yang lebih ‘terang’ dan statusnya belum terikat pada pernikahan, wajar saja jika kemudian berpaling.
Hakikatnya ada dua aspek yang menjadi dasar keyakinan seseorang dalam menentukan pasangan hidup. Yang pertama ialah aspek emosi yakni dorongan batin untuk jatuh cinta tetapi cenderung menggebu-gebu pada awalnya, hingga kerap berujung pada pemaksaan harus ‘ada status’ yang dilabeli pacaran.
Aspek yang kedua ialah aspek nurani spiritual yakni penemuan sisi gaib yang lebih hakiki. Ketika sampai pada tahap ini bisa jadi perubahan arah hati berlabuh, itu juga didasari karena para penganut ‘pacaran’ sudah merasakan bahwa jodoh terbaik itu bukanlah ajang ‘pameran’, seolah dunia milik berdua yang lain ngontrak (padahal status aja masih pacaran, berarti cintanya juga cinta kontrak). Pada akhirnya timbul kesadaran, bahwa jodoh terbaik ialah yang mampu menjadi sandaran di masa depan. Maka wajar saja, jika pada akhirnya landasan utama memilih pasangan hidup itu yang baik akhlaknya.
Maaf cemburulah pada tempatnya. Jika Anda masih berstatus ‘pacar’ maka Anda ialah ‘kekasih gelap’. Jadi simpan saja cemburumu pada lorong-lorong kegelapan, seperti gelapnya hatimu yang merasa bahwa “pacar” itu milik yang sah. Padahal pernikahanlah sebenar sahnya sebuah hubungan, dan Anda berhak cemburu karena Anda ialah sebenar ‘terang’ yang jadi pilihan. []