TANYA: Benarkah ada larangan menikah di bulan Muharram?
Jawab:
Tidak masalah menikah atau meminang pada bulan Muharram yang menjadi awal tahun hijriyah, sebab hal itu bukan termasuk perkara yang makruh atau diharamkan. Ini didasarkan pada beberapa dalil dan kaidah fiqih.
Kaidah fiqih
Kaidah syar’i yang disepakati oleh para ulama adalah:
أن الأصل في العادات والأفعال الإباحة
“Hukum asal dalam kebiasaan dan perbuatan adalah boleh.”
selama belum ada dalil yang mengharamkannya. Maka karena tidak ada penjelasan baik dalam al Qur’an, Hadits, ijma’ dan qiyas ataupun atsar yang menunjukkan bahwa menikah pada bulan Muharram itu adalah dilarang, maka yang menjadi dasar dari amal dan fatwa dalam masalah ini adalah hukum asalnya yaitu; boleh.
BACA JUGA: Benarkah Tak Boleh Menikah di Bulan Muharram?
Ijma Ulama
Hasil ijma’ dari para ulama adalah boleh, minimal dengan ijma’ sukuti (kesepakatan semua ulama malalui diamnya mereka), karena kami tidak menemukan seorang pun dari para ulama dahulu maupun sekarang, baik dari kalangan para sahabat, tabi’in, para imam yang diridhai, juga pengikut mereka sampai pada masa kita saat ini yang mengharamkan atau menganggap makruh menikah atau melamar pada bulan Muharram.
Dan barang siapa yang melarang akan hal tersebut, maka ucapannya tersebut sudah menjadi bukti akan mungkar dan batilnya perkataannya; karena ia berfatwa tanpa menunjukkan dalil atau perkataan para ulama.
Hadis
Bulan Muharram adalah termasuk bulan Allah yang diagungkan dan dimuliakan. Telah disebutkan keutamaannya dalam hadits Nabi:
( أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللهِ الْمُحَرَّمُ ) رواه مسلم (1163)
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah Muharram.” (HR. Muslim 1163)
Bulan yang Allah menyandarkannya pada diri-Nya dan menjadikan puasa pada bulan tersebut pahalanya lebih agung dari puasa pada bulan lain, maka menjadi layak untuk diharapkan berkah dan keutamaannya bukan malah bersedih dan khawatir untuk menikah pada bulan tersebut, atau bertathayur (menjadikan sesuatu sebagai tanda baik dan buruk tanpa didasari dengan dalil) sebagaimana adat istiadat masyarakat jahiliyah.
Bantahan terhadap Syiah
Jika ada seseorang yang beralasan bahwa yang menjadi dasar dari larangan tersebut adalah syahidnya Husain bin Ali sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Syiah Rafidhah.
Maka jawabannya adalah:
Tidak diragukan bahwa pada hari syahidnya Husain adalah hari yang menyedihkan dalam sejarah Islam, namun hal tersebut tidak mengharuskan untuk berfatwa akan haramnya menikah atau melamar pada bulan tersebut, dan tidak ada di dalam syari’at kita untuk memperbarui kesedihan dan memperingatinya setiap tahun, dan meneruskan hidad (bersedih) sampai melarang untuk menampakkan kebahagiaan.
Kalau tidak, maka menjadi hak kita untuk bertanya kepada orang berpendapat demikian: Bukankah hari dimana Rasulullah wafat adalah sebesar-besarnya musibah yang menimpa umat Islam? Maka, kenapa tidak dilarang juga menikah pada bulan dimana beliau wafat yaitu bulan Rabi’ul Awal? dan kenapa pengharaman dan hukum makruh tersebut tidak diriwayatkan oleh para sahabat atau keluarga Nabi dan para ulama setelah mereka?
Demikian juga kalau seandainya memperbarui kesedihan dibolehkan, maka setiap hari ada ulama besar Islam yang mungkin dibunuh, syahid atau meninggal dunia, baik dari keluarga dekat Rasulullah atau yang lainnya. Kalau demikian maka tidak akan ada hari atau bulan bahagia, dan manusia akan mengalami masalah dan kesulitan yang mereka tidak kuat memikulnya. Dan tidak diragukan lagi bahwa mendatangkan hal baru dalam agama adalah awal mula yang menarik para pengikutnya untuk menentang syari’at, dan mempertanyakan akan kesempurnaan yang telah Allah ridhai.
BACA JUGA: Bulan yang Baik untuk Menikah Menurut Islam (2-habis)
Sebagian ahli sejarah telah menyebutkan bahwa yang pertama kali mengatakan pendapat tersebut, bahkan yang pertama kali berpendapat tentang memperbarui kesedihan pada awal bulan Muharram adalah Asy Syah Ismail ash Shofwi (907-930 H) sebagaimana yang disebutkan oleh DR. Ali Al Wardi dalam “Lamahat Ijtma’iyyah min Tarikh Iraq” 1/59:
“Asy Syah Ismail tidak cukup dengan hanya menyebarkan teror saja untuk menyebarkan paham syi’ah bahkan sengaja juga mengambil sarana lain, yaitu; dengan cara publikasi dan mendatangkan kepuasan diri, ia telah menyuruh untuk mengkoordinir peringatan terbunuhnya Husain seperti yang rayakan sampai saat ini. Perayaan tersebut dilakukan sejak era al Buwaihiyyun di Baghdad pada abad 14 H. Namun setelah era tersebut mulai ditinggalkan. Kemudian datanglah Asy Syah Ismail yang mengembangkannya dan menambahkan majelis takziyah dengan tujuan agar kuat pengaruhnya pada hati pengikutnya. Maka menjadi benar bahwa hal tersebut adalah menjadi sarana terpenting untuk menyebarkan faham syi’ah di Iran; karena menampakkan kesedihan dan ratapan yang diiringi dengan irama gendang dan panji-panji dan lain sebagainya, dengan demikian maka akan menjadi akidah yang menancap pada jiwa.”
Pernikahan Ali dan Fatimah
Kemudian sebagian ahli sejarah menguatkan bahwa pernikahan Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah binti Muhammad SAW terjadi pada awal-awal tahun ke-3 H.
Ibnu Katsir berkata, “Al Baihaqi meriwayatkan dari kitab “al Ma’rifah” karangan Abu Abdillah bin Mundihi bahwa Ali menikah dengan Fatimah satu tahun setelah hijrah dan tinggal bersamanya pada satu tahun berikutnya, atas dasar ini maka beliau menggaulinya pada awal tahun ke-3 H.” (Al Bidayah wan Nihayah: 3/419)
Meskipun ada beberapa pendapat lain dalam masalah ini, namun yang menjadi dasar ialah tidak satupun di antara para ulama mengingkari pernikahan pada bulan Muharram, bahkan barang siapa yang menikah pada bulan tersebut maka ada contohnya dari Amirull Mukminin Ali bin Abi Thalib dan istrinya Fatimah binti Muhammad SAW. []
SUMBER: ISLAMQA