DI antara ulama yang berpendapat seperti Bukhari adalah Imam Tirmidzi. Beliau meriwayatkan hadis dari Umar, dengan redaksi, “Orang mati diazab karena keluarganya menangisinya.”
Beliau mengatakan, “Hadis Umar berderakat hadis shahih. Segolongan ulama menilai makruh menangisi ornag mati. Mereka berkata, ‘Orang mati diazab karena keluarganya menangisinya.’ Mereka berpendapat sesuai dengan hadis di atas. Ibn Al-Mubarak berkata, ‘Ku harap jika memang beliau (Umar) melarang semasa hidupnya, hal itu tidak menjadi beban atasnya’.”
Interpretasi ini juga menjadi pendapat Imam Qurthubi. Beliau berkata, “Sebagian atau mayoritas ulama berpendapat bahwa orang mati diazab karena tangisan keluarganya jika tangisan itu berasal dari kebiasaan dan pilihannya. Seorang penyair berkata, ‘Jika aku mati, tangisilah aku bersama keluargaku dan pukullah dadamu karena aku, wahai putri kuil.’ Begitu juga bila ia mewasiatkan hal itu.”
BACA JUGA: Apa Hukum Shalat Jenazah di Kuburan?
Ratapan, menampar pipi, dan memukul dada adalah kebiasaan Jahiliyah. “Mereka biasanya mewasiatkan keluarganya untuk menangisi dan meratapi mereka, serta mengumumka kematian. Hal itu merupakan kebiasaan mereka yang terkenal dan terdapat dalam bait-bait puisi mereka. Karenanya, si orang mati itu pantas mendapat siksa, disebabkan permintaannya kepada keluarganya semasa hidupnya,” demikian kata Ibn al-Atsir.
Kata-kata Bukhari sebaiknya diperhatikan, “Orang mati diazab karena sebagian tangisan keluarganya.” Jadi, ia tidak diazab oleh setiap tangisan. Tangisan yang air matanya mengalir, tanpa merobek baju dan menampar pipi, tidak mengakibatkan si mati disiksa. Ada banyak nas yang mendukung pernyataan ini.
Ibn Timiyah disodorkan masalah ini. Beliau menganggap lemah pendapat Bukhari, Qurthubi, Ibn Abdul Barr dan lain-lain dalam menginterpretasikan hadis-hadis yang menyatakan bahwa ornag mati diazab karena tangisan keluarganya yang masih hidup. Beliau mengatakan setelah menuturkan nas-nas mengenai hal itu:
Beberapa golongan dari ulama salaf dan khalaf mengingkari hal itu dan meyakini bahwa itu termasuk mengazab manusia karena dosa orang lain. Itu bertentangan dengan ayat, “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” Pendapat mereka tentang hadis-hadis shahih itu bermacam-macam.
Ada yang menyalahkan perawi hadis seperti Umar ibn Khaththab dan lainnya. Ini pendapat Aisyah, Syafii, dan lain-lain. Ada lagi yang menakwil dengan pengertian jika si mati berwasiat mengenai hal itu. Jadi, ia diazab karena telah mewasiatkannya. Ini pendapat Muzani dan lain-lain. Sebagian yang lain menafsirkannya dengan pengertian jika menjadi adat kebiasaan mereka. Jadi, ia diazab karena meninggalkan nahi munkar. Ini pendapat Abu al-Barakat. Semua pendapat ini lemah sekali.
Ibn Taimiyah menolak pendapat-pendapat yang menakwilkan hadis itu:
BACA JUGA: Siap Jawab Pertanyaan di Alam Kubur?
Hadis-hadis shahih yang jelas dan diriwayatkan oleh perawi seperti Umar ibn al-Khaththab, Abdullah ibn Umar, Abu Musa al-Asy’ari dan lain-lain itu tidak dapat ditolak dengan cara seperti ini. Aisyah memiliki pandangan yang menolak hadis di atas dengan sedikit takwil dan ijtihad karena menilai makna hadis tersebut keliru. Sebenarnya tidak demikian. Barangsiapa merenungkan hal ini, ia akan menemukan bahwa hadis shahih yang jelas dan diriwayatkan para perawi terpercaya ini tidak akan dapat ditolak oleh siapa pun kecuali bila ia keliru.
Ibn Taimiyah menjelaskan bahwa Aisyah terjebak dalam sesuatu yang mestinya harus dijauhinya. Ia berkata, “Aisyah meriwayatkan dari Nabi SAW dua redaksi hadis. Yang pertama, ‘Sesungguhnya Allah akan menambah azab terhadap orang kafir karena keluarganya menangisinya.’ Ini sesuai dengan hadis Umar. Jika boleh menambah azab-nya karena tangisan keluarganya, maka boleh juga mengazabnya -dari yang tadinya tidak diazab- karena tangisan keluarganya. Karena itu, Imam Syafii dalam Mukhtalaf al-Hadis menolak hadis ini karena kerancuan maknanya.
Menurutnya, yang lebih dapat diterima adalah riwayat Aisyah lainnya, ‘Sungguh mereka menangisinya, dan sungguh ia diazab di dalam kuburnya’.” []
BERSAMBUNG
Sumber: Ensiklopedia Kiamat/Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar/Penerbit: Serambi