“SEMAKIN kamu tua, kamu harus siap semakin banyak kehilangan. Semakin tua harus semakin mandiri bukan malah semakin tergantung sama orang lain, termasuk anak,” demikian nasihatnya sambil memandang hamparan rumput petang itu.
“Kenapa gitu?” tanyaku.
“Karena semakin tua orang berpikir kita akan semakin cerewet, makin kayak anak kecil dan makin merepotkan. Mereka, apalagi anak-anak dengan segala kesibukan dan kelelahan mereka gak akan merasa nyaman, mereka merasa lebih tau apa yang mereka harus lakukan, mereka punya prioritas hidup mereka sendiri, dan itu bukan kita,” jawabnya begitu.
BACA JUGA:Â Babang Grab yang Menolak Nasi Kotak
Aku terdiam, kulihat dia begitu tenang sambil memangku kucing belang tiganya.
“Terus gimana hari tua kita kalau anak-anak tidak peduli sama orang tuanya?” tanyaku.
“Kok kamu ini gak pinter-pinter sih, udah jelas anak itu fitnah dunia, udah jelas cuma disuruh taat dan berharap sama Allah, kok masih mau menggantungkan hidup sama anak.
“Jangan kamu jadikan anak-anak sebagai berhala-berhalamu hingga kamu menggantungkan hidupmu, masa tuamu sama mereka! Bergantunglah pada Allah, urus urusan Allah, maka Allah yang akan mengurus hidup dan matimu.
BACA JUGA:Â Kucing dan Sedekah
“Jangan kamu takut anakmu membencimu ketika kamu menegakan kebenaran, jangan kamu takut anakmu meninggalkanmu karena kamu menjalankan perintah Tuhan.
“Yang kamu perlu lakukan hanya buat anakmu belajar mengenal dan mencintai Allah, bukan sekadar mengaku punya Allah tapi tidak mencintai takdirnya,” katanya lagi.
Terdiam, kali itu aku tiba-tiba merasa sendu, menarik nafas panjang sambil menyeruput teh pahit panas.
Hari ini menatap rumput yang sama… dan tiba-tiba merasakan sendu yang sama. []