Oleh: KH. M. Cholil Nafis., Lc., Ph.D
SERING kali orang bersyukur jika telah mendapat apa yang diinginkan, sehingga ia bersyukur atas karunia yang telah didapatkan karena sesuai yang diinginkan. Bahkan tidak jarang untuk mengekpresikan syukurnya dengan mengadakan ”syukuran” yang mengundang para kolega dan tetangga untuk turut merayakan kebahagiaannya. Sebaliknya, karena belum mendapatkan yang diinginkan maka seseorang tidak bersyukur bahkan cenderung menyesali nasibnya dan menyalahkan takdir yang telah Allah SWT gariskan.
Sejatinya, syukur itu sendiri yang mendatangkan kebahagiaan. Maka seseorang akan merasa bahagia jika bersyukur dan merasa sengsara jika kufur (ingkar nikmat).
BACA JUGA: Beda Islam dengan Kufur
Munculnya rasa syukur karena mengerti akan adanya nikmat yang telah didapatkan. Karena semua dalam kehidupan manusia itu nikmat. Seperti oksigen yang dihirup setiap saat secara gratis, kesehatan, akal, kemampuan, pendengaran, penglihatan, berbicara, aliran darah yang mengalir di tubuh, dan keluarga. Bahkan karunia terbesar yang telah diberikan Allah SWT adalah keimanan.
Mestinya kita tergugah dan sadar untuk selalu memelihara dan memupuk rasa syukur terhadap karunia itu. Jika tidak bersyukur terhadap semua karunia yang telah ada dalam kehidupannya maka berarti telah ingkar (kufur) pada Allah Yang Maha Penyayang sebagai pemberi nikmat.
Rasulullah SAW adalah manusia pilihan yang telah dijamin masuk Surga, tetapi terus beribadah sepanjang siang dan malam, bahkan kakinya sampai bengkak saat shalat malam dan hatinya mendidih karena khusyu’ hanya ingin memperoleh predikat ”hamba yang bersyukur.”
Nabi Sulaiman as. seorang manusia yang kaya ilmu, kaya harta, tinggi kekuasaan, tetapi tidak melupakan bersyukur, malah khawatir menjadi orang yang tidak mampu mensyukuri nikmat Kepada Allâh SWT. (QS. Al-Naml [27]: 15-19).
Ada dua hal yang menyebabkan seseorang berpaling dari rasa syukur yaitu kebodohan dan kelalaian. Orang yang tidak tahu akan arti nikmat dan dari mana nikmat itu datangnya, bahkan merasa semuanya adalah hasil karya dan capaiannya sendiri akan menginkari dan kufur nikmat.
Demikian juga orang yang ambisius dengan capaian hidup dan terlalu asyik dengan kehidupannya akan menyebabkan lalai untuk mensyukuri nikmat. Orang yang kufur nikmat akan menyebabkan lupa mengingat Allah SWT sehingga akan menyebabkan kufur kepada Allah SWT.
Rasa syukur lahir karena mengetahui nikmat yang diberikan oleh Dzat Yang maha Penyayang, keadaan bahagia yang dirasakan dengan datangnya nikmat dan menggunakan nikmat sesuai dengan syariah Allah SWT. Karenanya rasa syukur dapat diimplementasikan melalui hati, ucapan dan perbuatan.
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Pengakuan yang tulus, bahwa semua kemampuan dan proses untuk mendapatkan nikmat adalah karunia Allah SWT dan menghindari menisbatkan capian dan nikmat semata-mata kemampuan diri.
Sebab orang yang hanya percaya pada kemampuan diri dalam capaian, sama saja dengan Qarun. Sifat Qarun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan dan karunia Ilahi, dan menegaskan bahwa semua yang diperolehnya semata-mata karena kemampuannya, sehingga dinilai oleh Alquran sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (Baca kisahnya dalam surat Al-Qashash: 76-82).
BACA JUGA: Tak Ada Alasan untuk Tak Bersyukur
Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan memuji Allah SWT pemberinya. Sedangkan syukur dengan perbuatan, ialah memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan dan yang dicintai oleh Allah SWT. Seperti menggunakan kesempatan dan umur untuk menjalankan perintah dan taat kepada Allah SWT, kemampuan dan akal untuk membangun kemaslahatan hidup di alam semesta dan persiapan menuju alam baka, dan menggunakan harta benda untuk mendukung dakwah di jalan Allah, membantu yang membutuhkan dan menggunakan harta sesuai syariah Allah SWT.
Jadi, syukur adalah bagian dari ujian Allah. Kita telah dianugerahkan banyak nikmat, diajarkan bagaimana memanfaatkannya dan bagaimana cara mensyukurinya, seyogyanya tunduk dan patuh kepada Yang Maha Pencipta.
Namun Allah SWT memberikan pilihan kepada hambanya, apakah mau bersyukur atau kufur. ”Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Mulia (QS An-Naml: 40). []
SUMBER: CHOLILNAFIS.COM