ORANG yang shalih bukanlah orang yang sekedar dikatakan shalih oleh orang lain. Keshalihan seseorang adalah di samping terlihat dari amal perbuatannya, juga harus dapat memenuhi kriteria yang diajukan Syaqiq ibnu Ibrahim di bawah ini.
Apabila di antara orang-orang yang shalih kita beberkan rahasia hidup selama ini kita jalani, apa pun bentuknya, apabila mereka ridha maka kita termasuk di antara golongan mereka. Apabila ada kemaksiatan yang masih kita lakukan, sementara mereka tidak pernah melakukan hal itu, jelas mereka tidak akan ridha. Ia akan menyingkirkan kita dari komunitasnya.
BACA JUGA: Amal Shalih Itu Memakmurkan
Misalnya di antara jamaah dzikir kita bercerita kepada mereka bahwa kalau malam kita sering pergi ke night club, tentu jamaah dzikir tersebut akan berusaha mengambil jarak dengan kita. Namun apabila kita menceritakan kebiasaan kita melakukan puasa Senin Kamis atau mengelola TPA (Taman Pengajian Al-Quran) dan sebagainya, maka kita akan di anggap sebagai kelompoknya.
Apabila datang kepada kita seseorang untuk menawarkan suatu pekerjaan dengan gaji dan fasilitas yang jauh lebih baik, tapi pekerjaannya amat menyita waktu dan berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya subhat. Apakah kita akan menerima pekerjaan tersebut? Sedangkan saat ini kita bekerja di sebuah perusahaan di mana gaji dan tunjangannya sebetulnya sudah cukup. Lalu kita masih punya waktu untuk bertemu dengan anak dan istri. Juga ada lahan dakwah di perusahaan saat ini karena ada Kerohanian Islam (Rohis)-nya. Tawaran yang sangat duniawi ini memang menggiurkan.
Namun orang yang shalih pasti akan mempertimbangkan apakah pekerjaan yang baru ini lebih mendekatkan atau justru menjauhkan dirinya dari Allah. Sudah jelas apabila tawarannya seperti di atas, nurani orang yang shalih akan mengatakan “Tidak Terima kasih”.
Ciri orang shalih adalah tidak takut mati. Sebab mati adalah gerbang yang harus ia lalui untuk berjumpa dengan Sang kekasih sejati. Bagaimana bisa kita bertemu seorang gadis di dalam rumah tanpa mengetuk pintu, masuk dan menemuinya. Kadang, karena badan masih kotor dengan baju belepotan lumpur kita belum siap menerima kekasih kita dalam rumah tersebut. Sudah selayaknya kita membersihkan diri terlebih dahulu agar saat pertemuan berlangsung demikian indah. Itulah orang yang shalih. Ia bukan hanya tidak takut mati, tapi justru siap menyongsong kematian untuk berjumpa dengan Yang Maha Indah.
BAC AJUGA: Keshalihan Sosial, Kunci Kesempurnaan Iman Seseorang
Satu lagi syarat yang dikemukakan Syaqiq, yaitu jangan riya’. Apabila kita sudah berada dalam komunitas orang shalih, tidak tergiur dengan tawaran dunia, juga tidak takut mati, janganlah hal tersebut dipamerkan kepada orang lain. Cukup dalam hati kita berharap bahwa semuannya itu tulus ikhlas semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah semata.
Jangan sampai hanya karena kita ingin dianggap sebagai orang yang shalih karena berkumpul dengan orang shalih, juga bukan karena kita menolak tawaran sehingga datang pujian, terlebih ingin dipuji bahwa kita siap mati. Untuk itu haruslah sering-sering berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari penyakit riya’. []
Sumber: Hikmah dari Langit/Yusuf Mansur/Pena Pundi Aksara/Januari 2007