CITA-cita tertinggi setiap rumah tangga adalah hidup harmonis, bahagia dan serba berkecukupan. Seorang lelaki yang bertindak sebagai nahkoda berharap istrinya seorang wanita shalihah, menjalankan kewajiban kepada Rabbnya, taat kepada suami, dan sayang terhadap anak-anak.
Di sisi lain, seorang wanita pun mendambakan suaminya lelaki yang bertanggung-jawab, mengerti kewajiban-kewajibannya sebagai hamba Allâh ‘Azza wa Jalla dan kepala rumah tangga. Inilah harapan-harapan yang harus terpenuhi dalam bingkai rumah tangga sakinah.
BACA JUGA: Suami Itu Harus Lembut, karena…
Namun, pada kenyataannya sebuah rumah tangga sulit untuk bebas dari masalah, sebab setiap masalah itu rumit dan butuh penyelesaian secara matang. Salah satunya sebagian istri menghadapi model suami yang pelit, suami yang hanya pemberi harapan palsu (PHP).
Meskipun memiliki keuangan yang cukup, serba kecukupan, namun sang suami tidak menyodorkan kepada istrinya nafkah yang cukup bagi istri dan anak-anaknya. Akibatnya, istri akan menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan anak-anak. Terjadilah banyak sekali ketimpamgan dalam rumah tangga. Sementara, ia tidak mudah untuk mendatangi qadhi atau hakim agama untuk menyelesaikan masalah itu.
Bagaimana menghadapi suami pelit?
Tatkala masalah ini terjadi, suami tidak memberikan nafkah dengan cukup, padahal ia mampu melakukannya, adakah strategi jitu bagi seorang istri? Solusi Islam bagi seorang istri yang suaminya pelit dan suka PHP adalah diperbolehkan untuk mengambil apa yang dibutuhkan dari milik suami, tanpa sepengetahuan suami. Inilah jalan keluar dari syariat yang mulia ini agar seorang istri tidak terlilit kesusahan dalam mengurus rumah tangga.
Syeikh Husain al-Awayisyah mengatakan, “Seorang istri berhak meminta (suami) bagian nafkah yang dibutuhkan bagi dirinya dan anak-anak. Dan ia pun boleh mengambil dari uang milik suami secukupnya dengan cara baik-baik, tanpa berlebihan, meski suami tidak mengetahuinya.”
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah ra bahwasanya Hindun binti Utbah ra berkata kepada Nabi SAW, “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang lelaki yang pelit. Maka, aku pun terpaksa mengambil dari uangnya (untuk keperluan nafkah). Kemudian Nabi SAW bersabda:
خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ
“Ambillah apa yang mencukupi dirimu dan anakmu dengan cara yang baik-baik.” (HR. Al-Bukhâri no.7180 dan Muslim no.1714)
BACA JUGA: Istri, Dahulukan Suami atau Orangtua?
Jawaban Nabi SAW tersebut menjadi solusi bagi setiap istri yang mengalami masalah yang sama. Tatkala mereka mendapati model suami-suami yang pelit dan hanya pemberi harapan palsu saja, ia tidak mesti datang ke pengadilan untuk mengadukan keluhannya tersebut. Dan tidak setiap wanita bisa pergi ke pengadilan untuk hal tersebut. Maka istri yang diperbolehkan mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya sebatas kecukupan ia dan anak-anaknya, itu harus bersifat rasyîdah (memiliki akal yang matang dan dewasa). Inilah tingkatan seorang istri yang penuh dengan keistimewaan, berdasarkan firman Allah SWT:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang berada dalam kekuasaanmu)” (QS. An-Nisa’ 4:5)
Ia bukan termasuk istri serakah yang mengambil hanya untuk bersenang-senang atau istri yang durhaka, tidak amanah terhadap apa yang diambil olehnya. Namun, ia mengambil sesuai dengan haknya dan juga anak-anaknya. Begitulah karakter istri yang rasyidah. []
SUMBER: BIMBINGAN ISLAM