RASA malu yang melekat pada diri seseorang bukan lah aib. Rasa malu justru merupakan benteng yang dihadirkan untuk melindungi seseorang dari perbuatan buruk yang mungkin jika dia lakukan maka hal itu dapat menjerumuskannya pada dosa dan penyesalan.
Namun, rasa malu tentunya harus ditempatkan secara benar selama hal itu masih dalam koridor kebenaran. Malu berbuat maksiat, itu sangat baik. Berbeda dengan malu untuk beramal shalih, tentu ini tidak dianjurkan.
BACA JUGA: Aku pun Malu
Dikutip dari kitab ‘Fiqhul Haya’ atau Fiqih Malu karya DR Muhammad Ismail Al-Muqoddam dijelaskan, orang beriman harus memiliki sifat malu. Karena malu dan iman merupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Rasulullah saw mengingatkan, “Malu dan iman dalah dua sisi yang selalu bersama. Jika salah satunya hilang dari keduanya, maka yang lain juga ikut hilang.” (HR. al-Hakim)
Akhlak atau sifat malu harus melekat pada pribadi setiap muslim. Karena ia adalah sumber kebaikan. Rasulullah SAW menegaskan, “Sifat malu tidak akan datang, kecuali dengan membawa kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ada tiga macam malu yang perlu melekat pada diri seseorang. Apa saja?
BACA JUGA: Hiasi Dirimu dengan Rasa Malu
1 Malu kepada diri sendiri
Maksud malu kepada diri sendiri ini yakni ketika seseorang merasa sedikit melakukan amal saleh kepada Allah dan kebaikan untuk umat dibandingkan orang lain. Malu ini mendorongnya meningkatkan kuantitas amal saleh dan pengabdian kepada Allah Ta’ala dan umat.
2 Malu kepada manusia
Ini penting karena dapat mengendalikan diri agar tidak melanggar ajaran agama, meskipun yang bersangkutan tidak memperoleh pahala sempurna lantaran malunya bukan karena Allah. Namun, malu seperti ini dapat memberikan kebaikan baginya dari Allah karena ia terpelihara dari perbuatan dosa.
3 Malu kepada Allah
Ini malu yang terbaik dan dapat membawa kebahagiaan hidup. Orang yang malu kepada Allah, tidak akan berani melakukan kesalahan dan meninggalkan kewajiban selama meyakini Allah selalu mengawasinya.
Mengingat sifat malu penting sebagai benteng memelihara akhlak dan sumber utama kebaikan, maka sifat ini perlu dimiliki dan dipelihara dengan baik. []
Referensi: Fiqih Malu/Karya: DR. Muhammad Ismail al-Muqaddam/Alih Bahasa: Atik Fikri Ilyas & Muhammad Anas/Penerbit: Maghfirah Pustaka/Tahun: 2008