KEBAHAGIAAN menjadi salah satu hal utama dalam hidup ini. Setiap insan pasti rela melakukan segala cara untuk menemukan kebahagiaannya. Nah, apakah kebahagiaan itu memerlukan materi? Selain sebagai makhluk spiritual tentu kita juga merupakan makhluk fisik. Yang pada hakikatnya membutuhkan sarana dan prasana untuk menjalani hidup ini.
Sebagai makhluk fisik, kita akan memperoleh kebahagiaan minimum, jika dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan agar dapat hidup. Kita tidak perlu harus kaya. Kita pun tak perlu harus hidup secara berlebihan, memiliki simpanan dan tabungan, tak perlu hidup berkecukupan. Tapi, untuk mencapai suatu kebahagiaan itu, kita harus punya makanan untuk kita makan. Kita pun harus punya pakaian untuk kita gunakan. Begitu pula dengan tempat tinggal, itu pun harus kita miliki walau sederhana. Itulah yang dimaksud dengan pemilikan materi yang minimal untuk melanjutkan hidup.
BACA JUGA: Ternyata Akal dan Pikiran Itu Berbeda, Ini Penjelasannya
Pendapat tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Martin Seligmen, seorang pelopor Psikologi Positif. Ia meneliti hubungan antara kekayaan dan kebahagiaan di berbagai negara. Ada beberapa kesimpulan menarik yang ia paparkan dalam buku Authentic Happines.
Menurut Seligmen, daya beli dan kepuasan hidup rata-rata di suatu negara berbanding lurus. Akan tetapi, begitu GNP melebihi 8.000 dolar per jiwa, korelasi ini sirna dan penambhaa kekayaan tidak meningkatkan kepuasan hidup. Jadi, orang Swiss yang kaya lebih bahagia daripada orang Bulgaria yang miskin, tetapi susah untuk membandingkan orang Irlandia, Italia, Norwegia atau Amerika.
Yang menarik adalah di Jepang. Walaupun daya beli orang Jepang mencapai skor 87, tingkat kepuasan hidupnya hanyalah 6,53 (dari skala 1-10). Coba bandingkan dengan India (skor daya beli: 5, tetapi tingkat kepuasan hidupnya 6,70), Nigeria (skor daya beli 6: tingkat kepuasan hidupnya 6,59), atau Cina (skor daya beli 9, tetapi tingkat kepuasan hidupnya 7,29). Ini menunjukkan bahwa uang tidak lantas membeli kebahagiaan.
Menurut Seligmen, di negara-negara yang sangat miskin, tempat kemiskinan bisa mengancam nyawa, menjadi kaya bisa berarti lebih bahagia. Namun, ketika garis kemiskinan telah terlampaui, tingkat ekonomi tidaklah lagi memainkan peran dalam menentukan kebahagiaan kita. Ini berarti, kita dapat hidup lebih bahagia daripada konglomerat. Jumlah kekayaan ketika kebutuhan minimal telah terpenuhi bukanlah lagi sebuah faktor yang menentukan tingkat kebahagiaan kita.
Sebenarnya, untuk mencapai kebahagiaan harus ada faktor-faktor yang mempengaruhi, seperti kekayaan, kesehatan fisik yang baik dan persahabatan dengan orang lain. Namun, faktor-faktor tersebut tidak akan berarti bila tidak dibarengi dengan pikiran yang tenang dan damai. Ya, pikiran dapat menjadi penentu suatu kebahagiaan dalam kehidupan ini.
BACA JUGA: Menginstal Pikiran Positif
Jika kita memiliki pikiran yang tenang dan damai, faktor-faktor pendukung kebahagiaan itu akan berpengaruh. Orang kaya yang memiliki pikiran yang damai akan lebih bahagia dibandingkan dengan orang miskin yang memiliki pikiran damai. Orang yang sehat dan memiliki pikiran damai, akan lebih bahagia daripada orang sakit dan memiliki pikiran damai. Begitu pula dengan orang yang memiliki sahabat banyak dengan pikiran yang damai, akan lebih bahagia daripada orang yang memiliki sedikit sahabat dengan pikiran yang damai.
Tanpa adanya pikiran yang damai itu, suatu kebahagiaan tidak mudah untuk diraih. Karena apa? Potensi dari ketiga hal itu hanya membantu melengkapi kebahagiaan kita. Maka, potensi itu akan terbuang sia-sia ketika kita tidak berhasil mencapai kedamaian pikiran.
Hal ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh Dalai Lama, “Makin tinggi tingkat ketenangan pikiran kita, makin besar kedamaian yang kita rasakan, makin besar kemampuan kita menikmati hidup yang bahagia dan menyenangkan.” []
Sumber: The 7 Laws of Happines/Karya: Arvan Pradiansyah/Penerbit: Kaifa