PEDIH dan perih! Entah mengapa, perasaan demikian itulah yang senantiasa menyergap seluruh benak dan kalbu ‘Abdul Malik bin `Umar bin ‘Abdul ‘Aziz selepas ayahandanya menjadi penguasa Dinasti Umawiyyah yang kedelapan.
`Abdul Malik bin `Umar tahu, ayahandanya dipilih berdasarkan prestasi dan kepribadiannya selama menjadi Gubernur Madinah dan Mekah.
Selama menjabat sebagai gubernur di dua Tanah Suci itu, kedua wilayah tersebut menjadi kawasan yang stabil dan aman. Didasarkan harapan kiranya selama menjadi orang nomor sang ayahandanya juga dapat mengendalikan pemerintahannya dengan sikap yang adil, bersih, dan bijak.
BACA JUGA: 9 Kriteria Pemimpin Muslim
Meski demikian, `Abdul Malik bin `Umar tetap menyesal atas kesediaan sang ayahanda menerima amanah itu. Bukan karena menyesali perubahan gaya hidup sang ayahanda yang sebelumnya sarat dengan gemerlap duniawi dan kini berubah menjadi bagaikan seorang sufi.
Tidak. Bukan itu. Dia menyesali tindakan tergesa sang ayahanda yang menerima amanah itu tanpa permusyarawatan kaum Muslim lebih dahulu. Menurutnya, tindakan sang ayahanda tidak dapat dibenarkan.
Selepas merenung, merenung, dan merenung, `Abdul Malik bin `Umar akhirnya memutuskan akan menyampaikan seluruh gelegak pikiran dan hatinya. Karena itu, suatu hari, ketika melihat sang ayahanda sedang tidak terlalu disibukkan dengan tugas kenegaraan yang tersangga di pundaknya, dia pun bergegas menemuinya.
Selepas berbagi sapa sejenak dengan sang ayahanda, `Abdul Malik pun berucap, “Amir Al-Mukminin! Manakala engkau kelak berpulang ke hadirat Allah Swt, bukankah engkau akan ditanya perihal amanah yang engkau terima?”
BACA JUGA: Inilah 7 Nama Besar Pemimpin Pasukan Muslim Sepanjang Sejarah (1)
“Benar, Putraku.”
“Nah, apakah jawaban Ayahanda kelak manakala engkau ditanya, ‘Umar, mengapa selama engkau menjadi penguasa masih ada satu bidah yang tetap engkau pertahankan, dan masih ada pula satu Sunah yang belum engkau semaratakan?”
Mendengar pertanyaan tidak terduga dari sang putra, Umar sejenak tercenung dan termenung. Beberapa saat kemudian, dia balik bertanya kepada sang putra, “Putraku! Apakah engkau bertanya demikian karena kecintaanmu kepadaku, ataukah karena benar-benar merupakan kecemasan pikiran yang muncul dalam benakmu?”
“Semua itu semata karena pikiran yang muncul dalam benak saya sendiri, wahai Amir Al-Mukminin,” jawab sang putra pelan.
“Sebagai seorang putra yang senantiasa menyertaimu, saya tahu Ayahanda adalah seorang penguasa yang bertanggung jawab. Lantas, bagaimana tanggapan Ayahanda perihal pertanyaan saya?”
Mendengar pertanyaan demikian, dia pun menjawab, “Putraku! Kiranya Allah Swt. kelak melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Juga, balasan kebaikan seorang putra kepada ayahandanya.”
Usai berucap demikian, Umar bin ‘Abdul Malik lantas berhenti berucap.
Kemudian, selepas merenung beberapa saat, ucapnya selanjutnya, “Demi Allah, sungguh Ayahandamu ini berharap, kiranya kelak engkau menjadi orang yang senantiasa membela kebaikan. Putraku, sejatinya kaummu telah mengikat erat masalah kepemimpinan ini.
BACA JUGA: Abdul Qadir al Jazairi, Pahlawan Muslim yang Dihormati Para Pemimpin Dunia
“Andai Ayahandamu ini berkeinginan untuk memberi peluang besar pencabutan sumpah setia (bai’at) yang ada di tangan mereka, tentu Ayahandamu ini ikut terlibat dalam kerusuhan dan kekacauan yang dapat berakibat terjadinya pertumpahan darah.
“Demi Allah, wahai Putraku, kehilangan dunia bagiku lebih ringan daripada terjadinya pertumpahan darah karena tindakanku. Putraku, tidakkah engkau senang, manakala suatu hari nanti Ayahandamu ini akan senantiasa mematikan bilah dan menyemarakkan Sunah hingga Allah memberikan keputusan antara kita dan kebenaran. Bukankah Dia adalah Pemberi keputusan terbaik?”
Betapa lega hati ‘Abdul Malik bin `Umar mendengar penjelasan sang ayahanda yang demikian. Semenjak itu, dia dapat menerima sikap ayahandanya yang bersedia menerima amanah sebagai penguasa. []
Sumber: Para Pemimpin yang Menjaga Amanah: Islamic Golden Stories/Karya: Ahmad Rofi’ Usmani/Penerbit: Bunyan, PT Bintang Pustaka/2016