DAHULU, kerajaan-kerajaan besar dan kecil berdiri di berbagai belahan dunia. Kekhalifahan, dinasti hingga kesultanan bahkan kerajaan tersebar di penjuru dunia. Pada perkembangannya semua bentuk pemerintahan itu bertransformasi. Ada yang menjadi negara ada juga yang lenyap tinggal nama.
Kisah kegemilangan yang ditorehkan sejarah, pastinya tak lekang oleh waktu. Namun, tak banyak yang peduli bagaimana nasib dari para penguasa terakhir di singgasana yang lenyap itu. Padahal, seperti halnya kegemilangan, kekalahan atau kegagalan bahkan kehilangan pun bisa menjadi pelajaran yang berharga apabila direnungkan.
Simak saja sepotong cerita dari akhir kisah penguasa terakhir Zanzibar. Ini dikisahkan Ned Donovan, penulis dan wartawan di Inggris yang mengikuti dari dekat kisah sultan terakhir Zanzibar, kepada The Guardian.
Dikutip dari BBC, berikut ini kisah Jamshid bin Abdullah al-Said, sultan terakhir Zanzibar yang mengasingkan diri di sebuah rumah sederhana selama 56 tahun.
BACA JUGA: Granada, Kerajaan Islam Terakhir di Spanyol
Jamshid bin Abdullah al-Said mengasingkan diri ke Inggris hanya beberapa bulan, setelah menggantikan sang ayah, Abdullah bin Khalifa, sebagai sultan di Zanzibar.
Ia naik tahta pada Juli 1963 menyusul kematian ayahnya. Pada Desember 1963 Inggris memberi kemerdekaan untuk Zanzibar. Namun, satu bulan setelahnya, terjadi perlawanan rakyat yang mengakhiri kekuasaan laki-laki yang biasa disapa Sayyid Jamshid tersebut.
Revolusi ini menjadi awal kelahiran Zanzibar sebagai negara republik, sekaligus menghapus predikat Sayyid Jamshid sebagai penguasa.
Di saat istana dikuasai oleh kelompok perlawanan, Jamshid bin Abdullah al-Said, bersama anggota keluarga, kawan dekat, dan pegawai istana, menuju Oman dengan menggunakan kapal pesiar. Namun ia ditolak untuk mendarat. Akhirnya, ia terbang ke Inggris.
Rencana masuk ke Inggris melalui London pada Januari 1964 terpaksa dialihkan ke Manchester karena kabut tak memungkinkan pesawat untuk mendarat. Dari Manchester, rombongan Jamshid bin Abdullah al-Said menuju London dengan menggunakan kereta.
Menurut Ned Donovan, ada isyarat ketika itu bahwa pemerintah Inggris “ingin mengembalikan kekuasaan di Zanzibar ke tangan Jamshid.” Namun seiring dengan berjalannya waktu, kemungkinan bagi Jamshid untuk kembali berkuasa semakin tipis.
“Dan ketika Zanzibar dan Tanganyika bergabung untuk mendirikan negara Tanzania, kemungkinan bagi Jamshid untuk kembali menjadi sultan hilang sama sekali,” kata Donovan.
Donovan mengatakan pemerintah Inggris sebenarnya sudah membahas rencana agar Jamshid bisa menghabiskan masa tuanya di salah satu koloni Inggris. Disepakati bahwa Inggris akan memberi dana £100.000 (setara dengan £2 juta jika dihitung dengan nilai sekarang) begitu Jamshid meninggalkan Inggris.
Surat kabar Amerika Serikat The New York Times membenarkan adanya dana yang disiapkan oleh pemerintah Inggris untuk membantu Jamshid.
Tempat yang dianggap ideal bagi Jamshid untuk mengasingkan diri adalah Oman. Pada masa itu, sekitar tahun 1960-an, Oman diperintah oleh Said bin Taimur, yang masih punya hubungan keluarga dengan Jamshid.
Zanzibar pernah menjadi bagian dari Oman mulai 1698 hingga 1890. Pada 1890, Inggris menjadikan Zanzibar sebagai wilayah protektorat dan dipisahkan dari Oman.
BACA JUGA: Pemimpin Islam Pertama di Inggris
Said bin Taimur menolak usul ini karena ia “tidak ingin ada dua sultan di waktu yang bersamaan” di Oman. Jamshid sendiri, menurut Donovan, juga tidak setuju dengan usul tersebut.
Tidak diketahui perkembangan selanjutnya, namun The New York Times memberitakan bahwa pada Mei 1964, pemerintah Inggris memberi Jamshid dana £100.000.
Dengan dana ini, Jamshid memulai kehidupan baru sebagai warga biasa dengan tinggal di satu rumah sederhana di pinggir panti di Southsea, Portsmouth, Inggris. Selama kurang lebih 56 tahun tinggal di kota kecil di Southsea, tak banyak yang tahu bahwa Jamshid adalah sultan terakhir Zanzibar.
“Ia tidak mau menonjolkan diri, ia tidak pernah berbicara kepada wartawan … seingat saya tak ada warga lokal yang tahu bahwa sultan [terakhir] Zanzibar tinggal di sana [Southsea],” kata Donovan kepada koran The Guardian.
Donovan mengatakan, Jamshid menjalani kehidupan seperti layaknya warga di Inggris lainnya seperti mengikuti ujian untuk mendapatkan surat izin mengemudi.
Saudara dan anaknya-anaknya kemudian pindah ke Oman, namun Jamshid harus bertahan di Inggris karena penguasa di Oman tak juga memberinya izin untuk pindah karena alasan keamanan. Namun semuanya berubah pada pertengahan September 2020.
Penguasa Oman, Sultan Haitham bin Tariq, akhirnya memberi izin bagi Jamshid untuk pindah dan menghabiskan masa tuanya di negara tersebut.
Salah seorang anggota keluarga Jamshid, kepada koran Timur Tengah The National mengatakan, “Keinginannya untuk pensiun di Oman dikabulkan oleh pemerintah dengan pertimbangan usianya yang sudah lanjut.”
“Ia memang ingin bisa menghabiskan masa tuanya di tanah leluhur, Oman,” tambahnya.
Pada usia 91 tahun, Jamshid akhirnya bisa kembali ke tanah lelulurnya. Namun, Portsmouth kini kehilangan satu-satunya warga yang menyandang status sultan itu. []
SUMBER: BBC