عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه قَالَ: جَاءَتْ بِي أُمِّي أُمُّ أَنَسٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ أَزَّرَتْنِي بِنِصْفِ خِمَارِهَا وَرَدَّتْنِي بِنِصْفِهِ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا أُنَيْسٌ ابْنِي أَتَيْتُكَ بِهِ يَخْدُمُكَ، فَادْعُ اللَّهَ لَهُ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ، قَالَ أَنَسٌ: فَوَاللَّهِ إِنَّ مَالِي لَكَثِيرٌ وَإِنَّ وَلَدِي وَوَلَدَ وَلَدِي لَيَتَعَادُّونَ عَلَى نَحْوِ الْمِائَةِ الْيَوْم (رواه مسلم)
Dari Anas bin Malik Ra. berkata: (Dulu, ketika saya masih kecil) ibuku datang kepada Rasululllah Saw. Ibu memotong setengah dari kerudungnya untuk sarungku (bawahan), dan setengahnya lagi untuk baju (atasan). Ibu berkata,“Wahai Rasulullah, ini Anas kecil, putraku, saya membawanya kepadamu untuk mengabdi kepadamu, mohon doakan dia”. Rasulullahpun berdoa,”Ya Allah karunikanlah kepadanya (Anas) harta dan anak yang banyak”. Anas berkata: “Demi Allah, sesungguhnya hartaku sangat banyak, begitu juga anakku dan anak dari anakku (cucuku). Jumlah mereka sekitar seratus hari ini.” (H.R. Muslim)
Takhrij Hadis
Selain Muslim, Imam Bukhari juga meriwayatkan hadis di atas dengan redaksi yang berbeda. Demikian halnya Imam Ahmad dan Turmidzi.
Syarah Hadis
Hadis di atas menceritakan perjuangan seorang ibu yang menitipkan anaknya untuk dididik agar tumbuh menjadi mukmin yang kuat, baik secara spirituil, moril maupun materiil. Dia adalah Ummu Sulaim, salah seorang perempuan Anshar yang mendambakan cahaya Islam meski mendapat pertentangan dari suaminya (Malik bin al-Nadhr).
BACA JUGA: Saat Ummu Sulaim Tunda Beritahu Abu Thalhah soal Kematian Putra Mereka
Dalam suatu perjalanan ke luar kota, dikabarkan sang suami meninggal dunia setelah berselisih dengan temannya. Hiduplah Ummu Sulaim dengan putra semata wayangnya yang masih kecil, Anas bin Malik.
Jalan Ummu Sulaim untuk mengikrarkan keislamannyapun semakin terbentang.
Di saat mayoritas kaum Anshar memberikan harta bendanya untuk baginda Nabi dan kaum muhajirin, tidak ada yang bisa ia persembahkan kecuali hanya putranya yang berusia 10 tahun saat itu untuk mengabdi dan dididik di rumah Nabi Saw. seraya memohon kepada beliau agar mendoakannya.
Riwayat di atas menunjukkan bahwa permohonan doa Ummu Sulaim terjadi di rumah Nabi Saw, tepatnya saat penyerahan putranya. Tapi dalam riwayat Muslim lain, Anas menceritakan bahwa suatu hari Rasulullah Saw mendatangi rumahnya di mana saat itu ada dia, ibunya dan Ummu Haram (bibinya), lalu baginda Nabi mengajak mereka salat sunnah berjamaah.
Seusai salat, Nabi mendoakan kebaikan dunia dan akhirat untuk keluarga tersebut. Sebelum mengakhiri doanya, ibunda Anas meminta kepada Nabi untuk mendoakan putranya. Nabi pun mendoakan segala kebaikan untuk Anas dan diakhiri dengan “Ya Allah karuniakanlah kepadanya (Anas) harta dan anak yang banyak serta berkahilah.”
Dari dua riwayat di atas bisa dipadukan yakni bisa jadi permohonan doa Ummu Sulaim kepada Nabi untuk putranya tidak sekali, tapi beberapa kali. Demikian halnya doa Nabi untuk Anas bin Malik juga beberapa kali. Hal ini didukung oleh beberapa riwayat yang menunjukkan seringnya Nabi mendatangi rumah Anas bin Malik.
BACA JUGA: Jadi Ibu dan Istri seperti Ummu Sulaiman
Dari sini kita bisa memetik pelajaran, betapa besarnya pengorbanan dan kesungguhan Ummu Sulaim dalam mendidik putranya. Anak semata wayang yang seharusnya menemani kesendiriannya, diserahkan sebagai pelayan bagi seorang pengajar manusia dengan segala kebaikan, yakni Rasulullah Saw.
Kesungguhan sang ibu tidak sampai disitu, ia tidak henti-hentinya mendoakan dan meminta doa untuk putranya. Itu semua ia lakukan demi kebaikan putranya, tidak hanya di dunia ini tetapi di akhirat nanti. Kebaikan Ummu Sulaim diungkapkan Anas bin Malik pada sebuah majlis, “Semoga Allah membalas jasa baik ibuku yang telah berbuat baik padaku dan telah menjagaku dengan baik.”
Demikianlah seharusnya orang tua ketika diberi amanah berupa anak. Ia harus diasuh dan dididik sesuai tuntunan Sang Pemberi amanah, Allah Swt. Memondokkan anak,misalnya, bukan berarti membuangnya, tapi sebuah benih tidak boleh terlalu lama berada di dalam kantong.
Ada saatnya, benih tersebut harus disemai di tanah yang tepat, disirami, dirawat hingga tiba saatnya berbunga dan berbuah.
Dalam konteks ini, Imam As-Syafii’ (wafat 204H), membuat sebuah syair tentang keutamaan merantau.
مَا فيِ المُقَامِ لِذِيْ عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ الأَوْطَانَ وَاغْتَرِب
Tidak ada tempat bagi orang yang berakal dan beradab untuk beristirahat, tinggalkanlah tanah kelahiran dan mengasingkandirilah.
سَافِرْ تَجِدْ عِوَضًا عَمَّنْ تُفَارِقُهُ وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ العَيْشِ فيِ النَصَبِ
Berkelanalah maka engkau akan menemukan pengganti orang-orang yang kau tinggalkan,dan berlelah-lelahlah karena sesungguhnya nikmat hidup itu didapat saat kita berlelah-lelah
إِنِّيْ رَأَيْتُ وُقُوْفَ المَاءِ يُفْسِدُهُ إِنْ سَالَ طَابَ وَإِنْ لَمْ يَجْرِ لَمْ يَطِبِ
Sesungguhnya saya melihat air yang tergenang itu pasti akan rusak, jika mengalir maka air tersebut akan baik jika tidak maka ia akan membusuk
وَالأُسْدُ لَوْلاَ فِرَاقُ الغَابِ مَاافْتَرَسَتْ وَالسَهْمُ لَوْلاَ فِرَاقُ القَوْسِ لَمْ يُصِبِ
Dan singa jika ia tidak keluar dari belantaranya maka tak akan dapat menerkam mangsa, anakpanahpun jika tidak keluar dari busurnya maka tak akan mencapai sasaran tembak
Pengorbanan ibu dan anak serta doa yang tulus dari sang pendidik manusia (Nabi Saw) berbuah manis. Dari sisi keilmuan, Anas bin Malik termasuk Sahabat yang salatnya paling menyerupai Nabi dan yang paling banyak periwayatan hadisnya setelah Abu Hurairah Ra dan Abdullah bin Amr.
Dari sisi materi, Anas bin Malik termasuk Sahabat yang kaya raya. Ia memiliki kebun kurma yang luas. Dalam setahun dapat panen dua kali. Demikian pula anak cucunya, bahkan hingga wafatnya ia memiliki 120 anak cucu. Ia pun dikarunia umur panjang hingga 107 tahun dan termasuk Sahabat yang terakhir meninggal di kota Bashrah pada hari Jum’at 93 Hijriyah.
Kembali ke kehidupan Ummu Sulaim Ra. yang masih single parent kala itu. Orang-orang pun memperbincangkan Anas bin Malik dan ibunya dengan penuh kekaguman dan penghormatan. Kemuliaan dan kebaikan Ummu Sulaim terdengar di telinga Abu Thalhah, seorang hartawan di masa itu.
Abu Thalhah pun melamar Ummu Sulaim dengan mahar yang mahal sekali. Namun dengan santun, Ummu Sulaim menolak lamaran tersebut seraya berkata,”Tidak pantas orang yang sepertimu akan ditolak wahai Abu Thalhah. Akan tetapi engkau seorang kafir sedang aku seorang muslimah yang tidak pantas bagiku untuk menikah denganmu.”
Tawaran mahar yang mahal itu tidak menyilaukan mata Ummu Sulaim, ia hanya meminta keislaman Abu Thalhah jika serius ingin menikahinya. Abu Thalhah pun akhirnya menikahi Ummu dengan mahar yang telah dipersyaratkannya, yakni Islam. Tsabit seorang perawi hadis berkata dari Anas Ra,”Tidaklah aku mendengar ada seorang wanita mulia maharnya daripada Ummu Sulaim yang mana maharnya adalah Islam.”
Sejak menikah dengan Ummu Sulaim, Abu Thalhah menjadi sosok muslim yang pemurah, ia kerap mengorbankan harta bendanya untuk agama Allah. Ia juga sering berpuasa dan berperang sepanjang hidupnya. Bahkan ia meninggal ketika sedang berpuasa dan perang di jalan Allah, pada masa khalifah Usman bin Affan.
Dari pernikahannya tersebut, Ummu Sulaim dikarunia seorang putra yang diberi nama Abu Umair. Bannyak sahabat yang ‘gemas’ dengan kelucuan Abu Umair, begitu juga Rasulullah juga kerap bermain dan bercanda dengannya.
Suatu hari, Abu Umair jatuh sakit, demam yang semakin meninggi hingga akhirnya meninggal ketika sang ayah pergi ke luar rumah. Di sini, terlihat sekali ketegaran seorang Ummu Sulaim. Ia sama sekali tidak meraaung-raung menangis melihat putranya terbaring tak bernyawa. Ia mandikan dan kafani jasad putranya seorang diri, kemudian dibaringkan di atas tempat tidurnya.
Ketika Abu Thalhah pulang, Ummu Sulaim mengajaknya untuk berbuka puasa dengan hidangan istimewa yang telah ia siapkan. Setelah menyantap hidangan berbuka, Abu Thalhah teringat anaknya dan bertanya,”Bagaimana keadaan anak kita?” “Dia sudah tenang, tidak usah kau risaukan dia,” Jawab sang istri menenangkan.
Pada malam harinya, Ummu Sulaim melayani sang suami dan menanti sang suami bangun dari lelapnya. Ketika Abu Thalhah terbangun, Ummu Sulaim melihat keadaan sang suami nampaknya sudah siap menerima keadaan yang mungkin bisa menghancurkan hatinya.
Dengan lembut, Ummu Sulaim berkata,”Wahai suamiku, seandainya seseorang menitipkan suatu barang, kemudian ia mengambilnya, haruskah orang yang dititipi mengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya?”
“Tentu saja. Dia harus mengembalikannya. Ia tidak berhak untuk menyimpannya,” jawab suaminya mantap. Ummu Sulaim melanjutkan,”Wahai suamiku, Allah Swt menitipkan Abu Umair kepada kita dan Dia mengambilnya kembali.”
BACA JUGA: Mahar yang Diminta Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah
Keheningan pagi itu berubah pecah. Kesedihan langsung merasuk ke dalam sukma Abu Thalhah,” Mengapa engkau tidak mengatakannya sejak tadi malam?” Sesal Abu Thalhah.
Seusai salat Subuh, Abu Thalhah mencerikan peristiwa yang ia alami tadi malam kepada baginda Nabi Saw. Beliau langsung mendoakan mereka berdua,”Semoga Allah memberkahi hubungan kalian berdua tadi malam.”
Tidak lama setelah itu, Ummu Sulaim hamil hingga melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah bin Abu Thalhah. Abu Thalhah memiliki sembilan anak yang semuanya hafal al-Qur’an. Subhanallah.
Dari bilik rumah tangga Ummu Sulaim Ra., kita bisa memetik pelajaran bahwa keberhasilan sebuah keluarga, terutama anak, tidak lepas dari empat faktor; pertama, tirakat (doa) orang tua, terutama ibu. Kedua, doa dan keikhlasan pendidik. Ketiga, rejeki yang halal dari orang tua. Keempat, kesungguhan anak dalam berusaha atau belajar. Dengan kata lain, hubungan yang baik antara orang tua, guru dan murid dengan Allah Swt, sangat menentukan keberhasilan masa depan anak.
Terakhir, semoga Allah Swt. menjadikan pasangan hidup dan anak keturunan kita penyejuk mata bagi kita dan menjadikan kita semua pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa. Aamiin. []