ISTRI Ismail adalah seorang putri pemimpin suku Jurhum Madhadh bin Amru. Darinya Ismail dikaruniai 12 anak, mereka adalah Nabit, Qidar, Adbil, Mubsim, Musymi, Dauma, Dawam, Masa, Haddad, Tsitsa, Yathur, dan Nafisy.
Nabi Ismail as. wafat pada usia 137 tahun dan dimakamkan di Masjidil Haram, di dalam Hijir Ismail di depan Hajar Aswad dan berdekatan dengan makam ibunya, Hajar.
Setelah Nabi Ismail as. wafat, putranya yang bernama Nabit mengemban tanggung jawab mengurus Ka’bah. Setelah itu, orang-orang Jurhum mengambil alih kekuasaan atas Ka’bah dari putra-putra Nabi Ismail as.
Ibnu Hisyam dalam sirahnya bercerita tentang apa yang terjadi pada anak-anak Ismail dan suku Jurhum setelah jumlah mereka banyak, ‘`Allah menyebarkan anak-anak Nabi Ismail di Mekah. Tapi, saudara mereka dari suku Jurhumlah yang menguasai Baitullah dan Mekah.
“Anak-anak Nabi Ismail as. ketika itu tidak ingin menentang saudara-saudara mereka dari suku Jurhum karena kekerabatan mereka, juga untuk menghormati kemerdekaan agar tidak terjadi peperangan dan saling bunuh. Lama-lama, anak-anak Nabi Ismail as. mulai merasa tidak nyaman di Mekah. Akhirnya, mereka pindah dan berpencar ke daerah-daerah lain.
“Dan, tidak ada satu pun kaum yang menolak mereka, semua menerima dan tunduk pada agama Ibrahim.”
BACA JUGA: Ucapan Orang Yahudi soal Pemindahan Kiblat ke Kabah
Adapun yang pertama kali berkuasa atas Ka’bah dari suku Jurhum adalah raja mereka al-Harits bin Madhadh. Ia kemudian membuat kebijakan untuk membangun pos di pinggiran Mekah yang bernama Qaiqa’an. Setiap orang yang masuk Mekah yang bernama Qaiqa’an.
Setiap orang yang masuk Mekah dengan tujuan berdagang harus membayar 10% dari barang niaga mereka. Pada saat yang sama, Raja `Arnaliq yang bernama Sumaida’ bin Haubar, juga menguasai bagian lain dari Mekah. Ia juga mengambil 10% dari harta niaga setiap orang yang datang ke Mekah yang melalui tempatnya.
Lalu, pecahlah perang antara kedua suku itu dan akhirnya kekuasaan atas Mekah dipegang suku `Amaliq. Tapi, kemudian suku Jurhum berhasil merebut kembali kekuasaan atas Mekah. Seterusnya, Ka’bah di bawah kekuasaan suku Jurhum selama 300 tahun.
Selama masa kekuasaannya itu, suku Jurhum menambah bangunan Ka’bah dan meninggikan lebih dari bangunan Nabi Ibrahim as. Adapun raja Jurhum yang terakhir berkuasa atas Kabah adalah Harits bin Madhadh al-Asghar.
Tapi, generasi akhir suku Jurhum melampaui batas dan berbuat semena-mena. Mereka meremehkan tanggung jawab besar yang ada di pundak mereka, bahkan mereka merebut harta-harta milik administrasi Ka’bah termasuk harta benda yang dipersembahkan untuk Ka’bah.
Selain itu, mereka juga bersikap buruk pada jamaah haji. Sehingga, banyak jamaah haji yang protes dan mengeluhkan tindak-tanduk suku Jurhum. Tapi, pertolongan Allah senantiasa menaungi Baitullah. Maka, Dia hukum suku Jurhum karena kesesatan mereka.
BACA JUGA: Nabi Ibrahim Tinggalkan Satu Bungkus Kurma dan Sekantong Air untuk Hajar dan Ismail
Allah turunkan hujan yang sangat deras pada suku Jurhum. Allah juga mengirim semut dan bencana-bencana lainnya yang membinasakan orang-orang Jurhum.
Di lain pihak, keturunan Ismail—terdorong oleh keluhan jamaah haji atas kesemana-menaan suku Jurhum—mampu menyatukan kekuatan dan mengalahkan suku Jurhum seka-ligus mengusir mereka dari Mekah.
Lalu, suku Jurhum tinggal di Juhainah. Tapi, pada suatu malam, banjir bandang menyapu dan menghanyutkan mereka.
Pemimpin suku Jurhum, al-Harits bin Madhadh al-Asghar, menggambarkan apa yang terjadi pada kaumnya dalam syair berikut, “Seakan-akan antara Hujun dan Shafa tidak pernah ada manusia Seolah tak pernah ada yang begadang di Mekah Hanya kami penduduk Mekah, Yang- kemudian dibinasakan oleh peristiwa di malam hari, Berupa banjir serta bencana lain.” []
Sumber: Sejarah Ka’bah: Kisah Rumah Suci yang Tak Lapuk Dimakan Zaman/Karya: Prof. Dr. Ali Husni al-Kharbuthli/Penerbit: Turos/2013