Di tanah Yaman ada seorang bekas dukun dan tabib di zaman jahiliyyah. Namanya Aswad Al-‘Ansiy. Ketika berita tentang Rasulullah SAW jatuh sakit setelah pulang dari haji Wada’ tersebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab, Aswad mengambil kesempatan itu untuk keluar dari agama Islam (murtad) dan mengaku sebagai Nabi.
Aswad Al-‘Ansiy terkenal sebagai orang yang pandai berbicara, pidato, penuh diplomasi, selain otaknya yang cukup cerdas dan pandai menarik perhatian. Di hadapan umum, dia selalu melindungi wajahnya di balik selembar kain hitam. Itu sengaja dilakukan untuk menyamar dan mengaburi mata awam untuk menimbulkan wibawa di hadapan masyarakat.
Dengan cepat seruan dakwah Aswad Al-‘Ansiy yang mengaku nabi itu telah terdengar dan kemudian mendapat sokongan dan pengikut di sekitar Yaman.
Dakwah Aswad Al-‘Ansiy telah diikuti oleh majority penduduk Yaman yang memang berasal dari kabilahnya sendiri, yaitu Kabilah Bani Madzhaj.
BACA JUGA: Musailamah al-Kazzab, Nabi Palsu Pertama di Zaman Rasul
Saat itu, Kabilah Bani Madzhaj adalah kelompok yang paling berkuasa di Yaman.
Aswad Al-‘Ansiy mengeluarkan fatwa bahwa malaikat dari langit telah turun kepadanya dan memberi wahyu dan memberitakan hal-hal ghaib kepada dirinya.
Perkataan itu diperkuat dengan segala cara untuk meyakinkan manusia.
Dia juga mengarahkan dan menempatkan anak-anak buahnya di setiap daerah. Tugas mereka adalah sebagai pengintip tentang keadaan dan kondisi masyarakat di Yaman. Mereka juga menciptakan kekacauan dan kesulitan di kalangan masyarakat dan kemudian menganjurkan mereka mengadukan permasalahan mereka kepada Aswad Al-‘Ansiy.
Masyarakat pun mulai datang ke hadapan Aswad Al-‘Ansiy, masing-masing mengadukan masalah mereka, dan dengan penampilan yang meyakinkan.
Aswad seolah-olah mengetahui segala permasalahan mereka. Ia berhasil menyelesaikan semua masalah tersebut.
Berita tentang kenabian Aswad ini telah merebak dengan cepat dan luas, hingga Hadramaut dan Tha’if, bahkan sampai ke wilayah Bahrain dan ‘Adn.
Berita itu sampai pada seorang pemuda yang bernama Abu Muslim al-Khaulani. Ia adalah pemuda yang tetap yakin dengan rukun iman dan tetap berpegang teguh terhadap prinsip Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Bahkan dengan terang-terangan ia berani mencela dan membantah kelakuan Aswad Al-‘Ansiy.
Mendegar hal ini, Aswad Al-‘Ansiy segera mengumpulkan pengikut-pengikutnya dan mengatur satu upacara untuk memaksa Abu Muslim melalui siksaan supaya murtad atau dijatuhkan hukuman bunuh.
Caranya adalah dengan mengadakan majlis peribadatan dan mengundang segenap masyarakat untuk datang melihat.
Di tengah majlis, sudah tersedia satu unggun kayu yang telah dibakar. Ia mengumumkan kepada khalayak tentang Abu Muslim Al-Khaulani, untuk mengakui kenabiannya..
Mendengar hal tersebut, Abu Muslim sama sekali tidak gentar, bahkan ia berani mempertaruhkan nyawa jika memang dikehendaki Allah. Dia juga merasa berkewajiban untuk menentang sekaligus menjatuhkan kewibawaan nabi palsu itu di hadapan masyarakat.
Aswad Al-‘Ansiy duduk di atas singgasananya di hadapan kobaran api.
Dan Abu Muslim dengan penuh tawakkal kepada Allah maju ke tengah lapangan.
Mulailah dialog antara musuh Allah dengan hamba-Nya yang shalih.
Aswad Al-‘Ansiy bertanya: “Apakah Anda bersaksi bahwa Muhammad Rasulullah?”
BACA JUGA: Peringatan dari Rasulullah: Akan Datang Nabi Palsu dari Yamamah
“Ya, saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah, dia penghulu para Rasul dan Nabi terakhir…” dengan tegas Abu Muslim menjawab pertanyaan tersebut.
Aswad Al-‘Ansiy pun bertanya lagi: “Apakah Anda mengakui bahwa saya adalah utusan Allah?”
Dengan tenang dan tanpa rasa takut Abu Muslim berkata: “Telingaku kurang jelas menangkap kata-katamu…”
Tapi setelah berulang kali Aswad mengulangi pertanyaannya, Abu Muslim tetap menjawab dengan kata-kata yang sama.
Mendengar ejekan itu dan melihat ketenangan dan keteguhan Abu Muslim, akhirnya Aswad Al-‘Ansiy memerintahkan supaya Abu Muslim untuk dibakar di tengah-tengah api yang telah menyala-nyala.
Maka terjadilah apa yang dikehendaki Allah, dimana api tidak dapat membakar Abu Muslim Al-Khaulani.
Rakyat yang melihat kejadian itu menjadi buntu termasuklah Aswad Al-‘Ansiy sendiri.
Demi menjaga wibawanya, Aswad Al-‘Ansiy perintahkan Abu Muslim supaya keluar dari negeri itu dengan ancaman sebelum siksaan-siksaan lain yang lebih kejam dikenakan pada dirinya.
Setelah peristiwa itu, Abu Muslim serta-merta memutuskan untuk berhijrah ke kota Madinah untuk bertemu dengan Rasulullah dan meninggalkan kaumnya yang telah sesat akibat termakan ajaran Aswad Al-‘Ansiy.
Peristiwa tersebut juga telah membangkitkan keimanan penduduk Yaman dan mereka akhirnya sadar akan keterlanjuran yang telah mereka lakukan.
Ttidak lama selepas hijrah Abu Muslim ke Madinah, mereka kemudian merancang dan membunuh Aswad Al-‘Ansiy yang mengaku Nabi itu serta pengikut-pengikutnya yang setia.
Dan mereka kembali memeluk agama Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah.
Ketika Abu Muslim sampai di Madinah, tiba-tiba ia mendengar berita sedih, bahawasanya Rasulullah SAW telah wafat. Dan kepemimpinan kaum muslimin saat itu telah beralih kepada Abu Bakar As-Siddiq R.A. Abu Muslim bergegas menuju Masjid Nabawi. Setelah sampai di depan pintu masjid, ia mengucapkan shalawat dan salam kepada Rasulullah. Dan kemudian melakukan shalat dengan penuh khusyu’.
“Dari manakah engkau, wahai pemuda?” Umar bin Khattab yang saat itu juga berada di dalam masjid menyapa Abu Muslim, setelah selesai shalat.
Abu Muslim menjawab: “Aku berasal dari Yaman.”
BACA JUGA: Surat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk Nabi Palsu
Agak terperanjat Umar mendengar jawaban Abu Muslim, lalu ia bertanya: “Tolong ceritakan kepadaku bagaimana keadaan hamba Allah yang telah dibakar oleh musuh-Nya, kemudian ia diselamatkan dari jilatan api?”
Abu Muslim pun menjelaskan: “Alhamdulillah, saat ini dia berada dalam kebaikan dan dalam perlindungan Allah.”
Sejak awal pertemuannya dengan pemuda Yaman ini, sebenarnya Umar R.A telah menyimpan syak. Setelah melihat sikap dan gerak-gerik Abu Muslim, Umar memandang wajah dan perawakan pemuda itu, dan akhirnya ia berkata: “Demi Allah, bukankah engkau ini orangnya…?”
Abu Muslim pun menjawab: “Ya, benar.”
Umar bin Khattab lantas mencium antara dua kening Abu Muslim dan berkata: “Alhamdulillah, Allah telah memperkenankan diriku untuk bertemu dengan salah seorang umat Muhammad yang telah diberi karunia sebagaimana karunia yang pernah diberikan kepada khalil-Nya Ibrahim A.S …” []