ENTAH sejak kapan, tapi kayaknya sih terjadi dalam lima tahun belakangan ini, saya dan istri saya suka mendadak jadi “konsultan pernikahan” yang amatiran.
Nyaris sepanjang waktu, ada saja suami atau istri atau suami istri yang sama-sama menyatakan permasalahan rumah tangganya kepada saya atau istri.
Saya pribadi senang mendengar dan menyimak, jadi saya tidak keberatan, dan jika saya merasa cukup dekat dengan orang itu, saya kadang memberikan saran. Entah dilakukan atau tidak oleh dia.
BACA JUGA: Preman Pilihan
Setelah sesi curhat dari orang lain itu, tentu saja saya akan membahasnya dengan istri saya. Begitu juga istri saya akan menyampaikan apa yang didengarnya soal rumah tangga temannya itu kepada saya.
Biasanya kami ngomong begini dalam tiga momen: makan siang di luar, menjelang tidur, atau di pagi hari bada shubuh ketika libur.
Dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang nggak ada hubungannya dengan kami itu, saya memberikan rambu-rambu jelas kepada istri saya; jika sudah sangat pribadi, jangan terlalu masuk kepada mereka.
Kesimpulan saya, setiap pasangan suami istri manapun mempunyai cara sendiri terbaik dan tahu cara menyelesaikan permasalahan mereka, lebih baik dari siapapun, apalagi dari seseorang tak resmi seperti saya atau istri saya itu.
Bahwa rumah tangga kita yang kita anggap ideal, belum tentu sesuai dengan rumah tangga orang lain. Pun begitu sebaliknya.
Cuma dari segala curhat itu, ada dua hal yang sementara ini saya ambil kesimpulan secara subyektif:
1. Seorang istri akan baik dalam semua kehidupannya (dalam pekerjaannya, kesehatannya, hubungannya dengan Tuhannya, lingkungan sosialnya, muda dan senantiasa terlihat cantik—maksudnya buat pasangannya), jika suaminya berlaku baik padanya.
Saya menyimpulkan, akhlak suami pada istrinya yang memegang peranan penting terhadap baik dan buruknya seorang istri.
2. Nah, untuk suami, baik dan buruknya dia, tampaknya hanya dipengaruhi oleh satu hal saja: bagaimana urusan tempat tidurnya beres bersama istrinya.
BACA JUGA: Pijit Hidungnya
Cupat kedengarannya, cuma saya jadi melihat bahwa urusan yang satu itu terpenuhi dengan baik sesuai kadarnya secara syar’i, maka si suami bisa sangat fokus pada semua kehidupannya: pekerjaannya, anak-anaknya, cita-cita dan perencanaannya, lingkungan sosialnya, dan juga keluarga besarnya.
Dua hal di atas terjadi secara aksiomatis. Satu dan lainnya datang secara berbarengan. Mau ekonomi keluarga tengah terhimpit, atau menghadapi ujian bertubi lainnya dari luar, jika kedua hal tersebut tidak terabaikan, suami istri akan selalu punya tempat kembali berdua. “Yang membuat pernikahan tidak membahagiakan sebenarnya bukan cinta, tapi karena kurangnya persahabatan di antara keduanya,” begitu kata Nietzsche. []