PADA setiap malam Kamis, aku merindukan. Lima tahun yang senantiasa berbekas dalam ingatan. Sangat kuat. Saat itu aku masih bekerja di ibukota. Pulang 2 hari sekali menggunakan bis. Bada Ashar, aku bergegas dari Pondok Indah (kemudian 2 tahun terakhir dari Cibubur). Sampai Purwakarta menjelang Maghrib.
Aku tak langsung pulang ke rumah. Berhenti di masjid menunaikan shalat, mengganjal perut dengan gorengan atau roti lima ribuan.
Setelah Isya, kemudian aku dan sahabat-sahabatku berkumpul. Melingkar. Didampingi seorang guru. Usianya hanya terpaut 2 atau 3 tahun dengan kami, para muridnya. Bagiku ia sangat istimewa.
BACA JUGA:Â Akang Ga Kenal Saya?
Kami belajar banyak darinya. Belajar menghargai hidup. Belajar menghargai diri sendiri. Menghargai waktu dan orang lain.
Pernah ada satu hal yang tak bisa kami tahan tawa. Seorang rekan, karena lelah sepulang kerja, ngelindur saat guru kami menuturkan tentang nubuwah akhir zaman. Aku dan satu temanku bahkan harus ke belakang masjid agar tidak terbahak. Beliau guru kami, hanya tertawa kecil. Kemudian berusaha melindungi rekan kami yang ngelindur itu dari bullying tak berampun dari kami teman-temannya.
Setiap guru, selalu istimewa. Ia tidak lengkap. Tapi istimewa.
Ia mengajarkan kami kebersamaan dan ukhuwah. Sebulan sekali, kami dibawanya ke tempat-tempat: gunung, air terjun, air panas. Atau makan tom yam di sela-sela tilawah dan kajian kami. Kami menjadi saudara dengan sendirinya.
BACA JUGA:Â Nasi Goreng
Aku ingat, sepulang dari rumah sakit, setelah anakku sakit selama 21 hari, ia menyodorkan uang 17 juta cash kepadaku untuk membayar sisa pinjamanku kepada orang-orang. MasyaAllah. Istriku di rumah tak bisa menahan isak saat itu karena haru.
Aku menyimpan semua kenangan tentangnya. Sampai saat ini, ia adalah guruku. Terhormat. Dan istimewa. Suatu waktu, di satu malam Kamis bada Maghrib aku menepi di masjid yang biasa kami datangi, aku duduk, menghirup nafas dalam, dan angin berhembus agak keras menerpa wajah. Aku menangis. Mengingat keindahan yang tak pernah lekang itu. []