Oleh: Savitry ‘Icha’ Khairunnisa
SELAMA lebih dari empat tahun sebagai satu-satunya keluarga muslim di lingkungan tempat tinggal kami, baru kali ada orang Norwegia nonmuslim yang bertanya tentang hijab.
Kejadiannya sore kemarin, saat saya lewat ini (menurut penilaian subjektif saya). Jangan terkecoh dengan kekuatan fisiknya. Dia adalah tipikal wanita Viking yang tangguh dan penuh semangat. Beberapa kali kami bersepeda bareng keliling Haugesund hingga beberapa jam lamanya.
Kami juga cukup sering ngobrol tentang novel, perpustakaan kota, tanaman, tujuan berlibur, hingga berita sehari-hari di Norwegia. Berbincang dengan dia serasa berbincang dengan ibu saya sendiri, meski tentu perbincangan kami bukan dalam bahasa Indonesia.
Di antara sekian tetangga kami, dengan Marit lah saya merasa paling akrab dan paling nyaman ngobrol tentang banyak hal.
BACA JUGA: Islam di Norwegia
Bagaimanapun ketika tiba-tiba ia bertanya secara detil tentang hijab yang selalu saya kenakan, awalnya saya sempat agak gelagapan juga. Pertama karena tidak siap dapat pertanyaan itu. Kedua saya harus menjelaskan secara hati-hati, dalam bahasa Norwegia, agar pesan yang saya sampaikan tidak salah diterima dan mudah dipahaminya.
Dia mulai dengan kerudung hitam berpayet yang saat itu saya pakai. Selanjutnya ia bertanya banyak hal. Dan saya pun berusaha menjawab satu-persatu segala keingintahuannya itu.
(?) Apa betul kamu selalu harus memakai penutup kepala?
(+) Iya betul.
(?) Bahkan ketika kamu ada di dalam rumah?
(+) Iya, bahkan ketika saya ada di rumah. Saya harus berkerudung selagi ada lelaki bukan muhrim di hadapan saya. Apalagi ketika keluar rumah, saya wajib menutup seluruh anggota tubuh saya kecuali muka dan telapak tangan.
(?) Kenapa begitu?
(+) Karena itu adalah perintah dari Tuhan saya. Dan memakai hijab (saya mulai menyebut hijab dan bukan lagi kerudung) adalah bentuk ketaatan saya pada Tuhan. Perintah berhijab ini tertulis jelas dalam kitab suci Alquran.
(?) Tapi kenapa harus ditutup semua? Apa nggak boleh kelihatan tangan atau lengan saja?
(+) Nggak boleh. Karena dalam Islam, semua bagian tubuh wanita adalah perhiasan yang bisa menjadi sumber godaan untuk laki-laki.
(?) Tapi aku pernah sekali lihat rambutmu waktu datang ke rumahmu. Dan rambutmu bagus, hitam dan mengilat. Kalau bagus kenapa harus ditutupi?
(+) Justru itu. Karena bagus itulah maka tidak sembarang orang boleh melihatnya. Sesuatu yang bagus itu harus dilindungi. Dan hijab adalah bentuk perlindungan Islam terhadap wanita. Hijab juga merupakan penanda, pembeda antara wanita muslim dan bukan muslim. Dengan hijab wanita muslim akan lebih mudah dikenali dan terlindungi.
(?) Oh begitu ya. Sebenarnya itu peraturan yang bagus juga. Saya juga risih kalau melihat anak-anak perempuan sekarang yang berpakaian ketat dan minim lalu mempertontonkannya dengan bangga ke semua orang. Saya pribadi nggak setuju itu.
BACA JUGA: Cerita Lockdown di Norwegia
Saya pernah punya kolega di panti jompo tempat saya bekerja. Dia seorang muslimah berhijab. Seluruh badannya tertutup, seperti kamu. Suatu hari bos kami menyuruh dia menggulung lengannya karena alasan higienis dan tugasnya melayani pasiennya. Kolega saya itu menolak karena menurut dia agamanya melarang dia menampakkan tangannya. Akhirnya dia mengundurkan diri.
(+) Well, sebetulnya ada beberapa perkecualian untuk pekerja medis yang mengharuskannya menggulung lengan atau mengikat kerudung ke leher demi kepraktisan pekerjaannya, atau pasien yang sedang berobat di rumah sakit. Tapi perkecualian itu hanya sementara ketika keadaan sedang darurat. Kalau keadaannya sudah normal kembali, ia harus menutup kembali seluruh auratnya.
(?) Menurut saya peraturan ini terlalu ketat. Apa kamu nggak merasa panas selalu berhijab? Apa semua wanita muslim harus berhijab, bahkan anak-anak?
(+) Oh tidak… Yang wajib berhijab adalah wanita ketika mulai memasuki masa akil baligh (remaja). Sebelum itu tidak ada kewajiban berhijab untuk anak-anak kecil. Saya sama sekali nggak merasakan panas, apalagi dengan hawa Norwegia yang sejuk begini. Bayangkan panasnya udara di Indonesia, Malaysia, Timur Tengah atau Afrika. Di sana sangat banyak muslimah berhijab.
(?) Kamu sendiri, kapan mulai berhijab?
(+) Saya baru mulai berhijab tahun 2001. Dan saya tak pernah menyesali keputusan ini.
(?) Tentu saja tidak. Kamu kelihatan selalu gembira dan nyaman dengan hijabmu . Lalu apa pendapatmu tentang wanita muslim yang tidak berhijab? Apakah mereka berdosa?
(+) Well, saya tidak bisa menghakimi orang lain. Berhijab adalah pilihan hidup. Tapi saya yakin semua wanita muslim tahu kalau berhijab itu perintah Tuhan yang wajib dia patuhi. Tapi keputusan berhijab ada pada tiap orang.
(?) Oh begitu ya. Maafkan pengetahuan saya yang minim tentang hijab ya. Tapi menurut saya peraturan itu terlalu ketat untuk wanita. Apa itu adil? Bagaimana peraturan untuk pria?
Baru saja saya akan membuka mulut untuk menjawab, telepon di rumahnya berdering. Marit pun pamit sambil berkata, ”Perbincangan yang menarik. Kita sambung lain kali ya?”
BACA JUGA: Penjara di Norwegia
Saya merasa diselamatkan oleh deringan telepon itu. Tapi saya juga bersyukur diberi kesempatan untuk menjelaskan masalah yang satu ini pada seorang nonmuslim yang sama sekali tak punya pengetahuan tentang hijab.
Dalam perjalanan kembali ke rumah saya berpikir, kadangkala terasa lebih nyaman berbicara masalah agama dengan orang berbeda keyakinan, karena pikiran mereka lebih terbuka. Tak ada fanatisme berlebihan. Tak ada debat kusir, karena yang bertanya benar-benar ingin bertanya dan bukan ingin menjatuhkan atau mencari kelemahan.
Sekali lagi saya merasa bersyukur tinggal di negeri yang meskipun agama resmi mereka adalah Kristen, tapi mereka begitu memuliakan para pendatang dengan segala agama dan kepercayaan mereka.
Di negeri ini saya bisa menjalankan keyakinan agama saya dengan tenang, lengkap dengan segala atribut pengenal saya sebagai muslimah.
Saya tahu dialog ini masih akan berlanjut. Dan rasanya saya siap menjawab pertanyaan apa saja yang ditanyakan orang sini tentang negeri saya dan agama saya, insyaa Allah. []