HARI lahir Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan maulid atau muludan yang diperingati umat Islam setiap tahunnya menarik diskusi pelbagai bidang, tidak terkecuali perihal status hukumnya. Sebenarnya pembahasan hukum pelaksanaan maulid tidak perlu jika peringatan itu diisi dengan zikir, shalawat, baca Alquran, taushiyah ketakwaan, silaturahmi, atau sedekah. Semua itu baik, tinggal dilaksanakan.
Peringatan maulid baru diadakan mulai abad 3 Hijriyah. Dilihat dari keasliannya, maulid yang diperingati hingga hari ini jelas termasuk kategori bid‘ah, sebuah upacara agama yang tidak diamalkan di masa Rasulullah SAW. Hal ini jelas disebutkan oleh Syekh Abu Syamah, salah seorang guru Imam An-Nawawi:
BACA JUGA: Perayaan Maulid Nabi, Bagaimana Hukumnya?
“Imam Abu Syamah –salah seorang guru Imam An-Nawawi-mengatakan, salah satu amaliyah bid‘ah terbaik di zaman kita sekarang adalah peringatan yang diadakan setiap tahun pada hari bertepatan dengan hari kelahiran Rasulullah SAW yang diisi dengan sedekah, kebaikan, dan ekspresi keindahan serta kebahagiaan. Semua itu yang juga dibarengi dengan santunan kepada orang-orang fakir menunjukkan bentuk cinta dan takzim kepada Rasulullah SAW di batin mereka yang mengamalkannya. Semua praktik itu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT atas nikmat-Nya, yakni menciptakan Rasulullah SAW yang diutus membawa rahmat bagi segenap penghuni alam semesta.”
Syekh Abu Syamah jelas menyebut peringatan maulid sebagai bentuk konkret rasa syukur umat Islam kepada Allah atas karunia-Nya yang berupa pengutusan rasul mereka. Di samping itu peringatan maulid adalah ekspresi bahagia dan cinta mereka terhadap rasul-Nya yang kemudian diwujudkan dengan praktik-praktik keislaman yang sudah diajarkan Rasulullah SAW seperti sedekah, silaturahmi, dan zikir.
Sementara salah seorang ulama hadits terkemuka Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani menelusuri dasar hukum peringatan maulid yang ditemukannya berasal dari hadits riwayat Bukhari Muslim perihal puasa Asyura yang dilakukan umat Yahudi di Madinah sebagai peringatan atas runtuhnya kejayaan Fir‘aun dan selematnya Nabi Musa AS. Berikut ini penjelasan Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
“Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani melacak dasar hukum (istinbathul ahkam) peringatan maulid nabi (muludan) pada sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Riwayat itu menyebutkan ketika tiba di Kota Madinah Rasulullah SAW mendapati orang-orang Yahudi setempat berpuasa di hari Asyura. Rasulullah SAW bertanya kepada mereka terkait peristiwa yang terjadi pada hari Asyura. ‘Asyura adalah hari di mana Allah menenggelamkan Fir‘aun dan menyelamatkan Nabi Musa AS. Kami berpuasa hari Asyura ini sebagai rasa syukur,’ jawab mereka. ‘Kalau begitu kami lebih layak bersyukur atas kemenangan Nabi Musa AS dibanding kalian,’ kata Rasulullah SAW. Abu Lahab sendiri diringankan dari siksa kubur setiap hari Senin karena telah memerdekakan budaknya bernama Tsuwaybah yang membawa kabar gembira kepadanya atas kelahiran Rasulullah SAW. Dari sela kedua jari bayi itu keluar air yang kemudian diminum Abu Lahab. Hal ini diriwayatkan Sayyidina Abbas RA yang berjumpa Abu Lahab dalam mimpi. Syamsuddin Muhammad bin Nashir-semoga Allah merahmatinya-mengatakan, ‘Kalau demikian besar rahmat Allah terhadap orang kafir yang kelak kekal di neraka bahkan diabadikan dalam sebuah surat di Al-Quran dengan datangnya keringanan siksa kubur setiap hari Senin karena gembira menyambut kelahiran Rasulullah, apalagi karunia Allah terhadap orang beriman yang seumur hidupnya gembira atas kelahiran Rasulullah SAW dan mati dalam keadaan iman.’”
BACA JUGA: Fakta Seputar Peringatan Maulid Nabi
Pernyataan Syekh Abu Syamah dan Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani tersebut berasal dari kitab I‘anatut Thalibin karya Sayid Bakri bin Sayid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi. Berdasarkan pendapat kedua ulama ini, disebutakn bahwa kedudukan hukum peringatan maulid jelas memiliki dasar pijakan hukum yang bersumber pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim di mana Rasulullah SAW menganjurkan puasa Asyura sebagai bentuk syukur atas penenggelaman Fir ‘aun dan keselamatan Nabi Musa AS.
Kecermatan serta ketajaman membaca hadits, menganalogikan, dan menarik simpulan semacam ini hanya dimiliki oleh ulama yang bergaul intens dengan hadits Rasulullah SAW seperti Syekh Abu Syamah dan Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Semoga Allah menurunkan rahmat untuk keduanya. []
SUMBER: NU.OR.ID