Oleh: Taufik Ginanjar
DULU saat duduk di bangku sekolah saya pernah berpikir, bahwa ayah ibu saya beruntung karena memiliki anak yang pintar. Pemikiran itu sirna ketika sebuah insiden terjadi pada Maret 2008.
Allah takdirkan saya mengalami kecelakaan motor. Mirisnya, waktu itu motornya milik kakak kelas. Saat itu kami sedang mengelola event akbar di sekolah. Saya segera bangkit, tapi aneh, kaki sebelah kiri tak bisa digerakkan. Seketika pandangan saya teralihkan pada betis yang bercucuran darah.
BACA JUGA: Kematian, Perpisahan atau Musibah?
Warga yang melihat, berhamburan menghampiri. Sembari memberikan pertolongan pertama, di antara mereka ada yang langsung memesankan angkot untuk membawa saya ke rumah sakit.
Yang dirasakan saat itu, kecemasan yang mendalam. Kondisi krisis ekonomi orangtua saya sedang puncak-puncaknya. Ayah di PHK, uangnya dipakai untuk bayarkan utang. Semua anaknya lagi ‘meujeuhna‘ biaya sekolah, kakak perempuan saya di Aliyah, saya dan adik laki2 di MTs, si bungsu masih TK. Kondisi ini juga yang membuat saya memilih tawaran beasiswa di SMA Plus Ulumul Quran, karena tak ingin membebani orangtua. Padahal waktu itu inginnya ke Muallimin. Qaddarullah…
Diperparah dengan saya masuk rumah sakit. Sempat komplain kepada Allah; “Ya Allah.. Kenapa harus terjadi pada saya. Kenapa harus sekarang terjadinya. Bukankah selama ini saya sering ke mesjid? Bahkan subuh pun di mesjid…”
Saya mulai tersadar, sudah tiba di UGD. Tak berselang lama, dokter memeriksa dan melakukan pembedahan.
Mata saya terus terpejam dengan hati dan pikiran melayang, mencemaskan biaya rumah sakit. Pasti membebani.
Saat pembedahan, sempat sempatnya dokter bilang, “Remaja zaman sekarang hobinya kebut-kebutan ya, kalau udah kecelakaan seperti ini kan, repot, untung gak mati juga.”
Sempat ingin buka mata lalu bicara pada dokter, tapi tak bisa.
Singkat cerita, ayah saya datang. Terjadi obrolan antara ayah dan pihak rumah sakit. Intinya, mau dirawat atau langsung pulang.
Seketika itu, saya berjuang untuk membuka mata dan berbicara pada ayah.
“Pak, uih weh, abdi tos mendingan. Insyaa Allah sehat deui” (Bapak pulang saja, saya InsyaAllah sehat lagi)
Setengah ragu, ayah mengiyakan.
Kursi roda sudah berada di ujung rumah sakit. Diboponglah tubuh oleh ayah saya. Terasa langkah kakinya mulai gontai. Hati mulai berkecamuk.
Biaya rumah sakit, seragam rusak parah, ganti biaya servis motor kakak kelas, dan lain-lain.
Tapi yang membuat saya menangis adalah, ketika saya tersadar bahwa Allah SWT telah memberi ayah yang terbaik. Justru sayalah yang beruntung. Saya beristighfar…
Sesampainya angkot di depan Tirta regency, ayah kembali membopong. Hati terkoyak-koyak, saya hanya bisa berdoa, “Ya Rabb, berilah kebaikan (khairan) yang besar untuk ayah hamba. Ya Allah, mampukan hamba untuk membahagiakannya. Ampuni dosa-dosa kami…”
Musibah itu mentenagai kehidupan saya. Membuat perubahan mindset. Saya mulai berpikir harus mandiri dan memberi yang terbaik untuk mereka; ayah dan ibu.
“Ya Allah, saya terima takdirmu. Saya imani musibah yang menimpa ini adalah sebuah ketetapanmu. Tak mungkin engkau salah mentakdirkan”.
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ ۚ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hati orang itu. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Musibah adalah bentuk validasi keimanan kita kepada Allah. Sebab, saat ia datang, hati dan pikiran kita terguncang berat dan disinilah letak ujiannya. Apakah kita akan menerima qadha qadar Allah? Apakah kita akan bisa husnudzan kepada Allah? Apakah kita masih bisa menjalankan ketaatan kepada-Nya? Setelah Allah ambil sesuatu yang paling berharga.
Singkat cerita, tak lama setelah musibah itu terjadi, sebuah yayasan meminta saya mengajar di TPA yang mereka kelola. Setelah mendapat izin dari orangtua, saya akhirnya menjadi guru di sana. Saat itu awal masuk kelas 11 SMA.
Selama tiga tahun di SMA, saya tak pernah minta uang. Beli buku, jajan dan kebutuhan lainnya, Allah mudahkan jalan rezekinya.
BACA JUGA: Agar dapat Pengganti yang Lebih Baik, Bacalah Doa Ini Ketika Ditimpa Musibah
Allah mendidik saya untuk berwirausaha. Saya mulai membangun jaringan relasi. Di kelas 11 ini, Allah mampukan saya untuk berkontribusi pada ekonomi keluarga.
Uang ngajar TPA, ngajar privat, jualan buku dan herbal, setengahnya dialokasikan untuk keperluan dapur.
Allahu kariim…
Penggenggam takdir,
Yang Maha menggenggam cerita kehidupan,
Mari, teruskanlah ikhtiar ikhtiar kita kepada-Nya. Lanjutkan terus doa doa kita kepada-Nya. Jaga terus sangka baik kita kepada-Nya. Pahami isyarat kasih sayang Allah kepada diri kita. Allahu A’lam. []
SUMBER: PERSIS