SEBAGAI seorang wanita yang Allah SWT karuniai akal yang baik, jangan sampai kita menjadikan titik kemapanan untuk menikah hanya diperuntukkan bagi kaum lelaki. Karena sesungguhnya, kaum wanita juga perlu sedari dini untuk memapankan dirinya. Mapan dari segala aspek. Mapan mental, ilmu, fisik, sekaligus spiritual.
BACA JUGA:Â 6 Wanita Muslim yang Berpengaruh dalam Sejarah Peradaban Dunia
Jika suami bertugas mencari nafkah, maka istri perlu belajar untuk mengelola nafkah pemberian dari suami. Tidak hanya mengatur dengan apik mana yang dialokasikan sebagai sedekah untuk orangtua, kebutuhan sehari-hari, nafkah pribadi, atau mana yang disisihkan sebagai tabungan.
Namun juga setiap istri selayaknya pandai dalam membina dirinya, agar tertanam sifat qona’ah atau merasa cukup atas pemberian suami, pandai bersyukur atas segala rezeki, dan siap menjadi garda terdepan untuk menyemangati suami dalam menunaikan kewajiban utama terhadap keluarganya.
Lalu bagaimana jika sang istri adalah wanita yang cenderung senang bekerja dan menghasilkan materi? Sekarang ini banyak wanita yang merangkap bisnis online dari rumah, atau menghasilkan pundi-pundi rupiah dari hasil jerih payahnya sendiri.
Jika hal tersebut dijadikan sebagai ruang aktualisasi pada dirinya, mengasah kemampuan atau potensi dirinya agar bermanfaat, terlebih suami meridhoi aktifitasnya, ya tidak masalah. Luruskan niat hanya untuk Allah semata.
Namun, jika sampai kesibukan dalam pekerjaan itu melenakan dirinya, menggeser peran utamanya, menjadikan pekerjaan itu sebagai prioritas utamanya, apalagi jika pada akhirnya ia menganggap derajat dirinya lebih tinggi dari suami, itu lah yang bermasalah. Hati-hati perihal perasaan, ada setitik saja kesombongan, Allah bisa dengan mudah mencabut nilai keberkahannya.
BACA JUGA:Â Muslimah, Inilah Perawatan Diri yang Dianjurkan dalam Sunah
Tak dapat ditampik, materi memang penting untuk menjalani roda kehidupan dalam rumah tangga, tapi jika sedari awal mental pada diri seorang wanita terbangun untuk menuntut untuk bergelimangnya materi pada diri suami, hingga ia pun rela bersusah payah banting tulang demi tercapainya kepuasan yang tak pernah habis dalam dirinya maka bisa dipastikan kelak rumah tangganya hanya mampu menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan.
Sejatinya akan terasa sangat melelahkan, karena materi itu semakin dikejar, semakin tak habis-habis, semakin pula tak bertemu dengan cita rasa bahagia yang sesungguhnya. []