قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ: “يَا رَسُولَ اللَّهِ اعْفُ عَنْهُ وَاصْفَحْ عَنْهُ فَوَالَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ لَقَدْ جَاءَ اللَّهُ بِالْحَقِّ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ لَقَدْ اصْطَلَحَ أَهْلُ هَذِهِ الْبُحَيْرَةِ عَلَى أَنْ يُتَوِّجُوهُ فَيُعَصِّبُوهُ بِالْعِصَابَةِ فَلَمَّا أَبَى اللَّهُ ذَلِكَ بِالْحَقِّ الَّذِي أَعْطَاكَ اللَّهُ شَرِقَ بِذَلِكَ فَذَلِكَ فَعَلَ بِهِ مَا رَأَيْتَ”، فَعَفَا عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري)
(SUATU hari) Sa’ad bin Ubadah berkata (kepada Nabi ﷺ): “ Maafkanlah dia (Abdullah bin Ubay bin Salul) wahai Rasulullah dan berlapangkan dadalah kepadanya. Demi Dzat yang menurunkan Al-Kitab kepada anda, sesungguhnya Allah telah datang dengan kebenaran yang diturunkan kepada anda. (Dahulu) Penduduk telaga ini (penduduk Madinah) bersepakat untuk memilihnya dan mengangkatnya sebagai raja. Namun karena kebenaran yang Allah berikan kepada anda muncul, sehingga menghalanginya menjabat sebagai pimpinan. Maka seperti itulah perbuatannya sebagaimana yang anda lihat.” Akhirnya, Rasulullahpun memaafkannya. (HR. Bukhari).
Takhrij Hadis
Selain Imam Bukhari yang meriwayatkan di beberapa bab dalam Shahihnya, riwayat di ats juga diriwayatkan Imam Muslim di Shahihnya. Kisah Abdullah bin Ubay dalam tulisan ini juga bisa dirujuk di beberapa kitab sejarah seperti al-Bidayah wa al-Nihayah, Tarikh Madinah dan juga kitab-kitab Tafsir baik klasik maupun kontemporer.
BACA JUGA: Pelajaran dari Bilik Rumah Tangga Ummu Sulaim Ra
Syarah Hadis
Abdullah bin Ubay bin Salul adalah kepala suku Khazraj. Setelah perang Bu’ats yaitu perang antara suku Khazraj dan Aus, kedua suku tersebut sepakat melupakan masa lalu yang kelam dan siap memulai hidup baru dengan saling bergandengan tangan.
Bersama-sama menghadapi dominasi Yahudi yang merugikan mereka. Meski suku Khazraj yang kalah, tapi baik suku Aus maupun Khazraj sepakat memilih Abdullah bin Ubay untuk diangkat menjadi raja mereka.
Namun takdir Allah berbicara lain, belum sempat penobatan terlaksana, terjadi perubahan yang cepat dan tidak ternduga sebelumnya. Semuanya bermula dari 6 orang Yatsrib (nama lama Madinah) yang pergi haji ke Makkah. Di sana, mereka bertemu dengan Nabi Saw dan diajaklah mereka bertauhid kepada Allah.
Bagi mereka, Nabi Muhammad adalah nabi yang selama ini dijanjikan oleh orang-orang Yahudi kepada mereka. Dan dari 6 orang inilah berita tentang Islam dan Nabi Muhammad merebak ke penjuru Yatsrib. Pada saat yang sama, nama Abdullah bin Ubay sebagai kandidat satu satunya rajapun mulai surut.
Potongan riwayat di atas adalah petemuan kali pertama antara Rasulullah ﷺ dengan Abdullah bin Ubay bin Salul, calon raja yang gagal dan sakit hati terhadap Nabi. Kisah lengkapnya sebagai berikut:
BACA JUGA: Keadaan Mukmin dan Munafik di Dalam Kubur, Diingatkan Surga-Neraka Pagi dan Sore
Suatu hari Rasulullah ﷺ pernah mengendarai seekor keledai, dilengkapi dengan pelana yang terbuat dari kain Fadak, sementara Usamah berada di belakang beliau. Beliau pergi untuk menjenguk Saad bin Ubadah di Bani Al-Harits bin Al-Khazraj; kejadian ini berlangsung sebelum perang Badar.
Kemudian beliau berangkat hingga melewati suatu majlis, yang di dalamnya terdapat Abdullah bin Ubay bin Salul. Itu terjadi sebelum Abdullah bin Ubay masuk Islam. Di dalam majlis itu berkumpul pula orang-orang muslim, orang-orang musyrik, para penyembah berhala dan orang-orang Yahudi.
Di kalangan muslimin terdapat Abdullah bin Rowahah. Ketika majlis tersebut dikepuli oleh debu yang ditimbulkan oleh hewan tunggangan, Abdullah bin Ubay langsung menutup hidungnya sambil berkata: ”Hai, jangan kamu kepuli kami dengan debu.”
Rasulullah Saw mengucapkan salam kepada mereka, lalu berhenti, turun mengajak mereka kepada Allah (memeluk agama Islam) dan membacakan kepada mereka al-Qur’an.
Mendengar hal itu Abdullah bin Ubay berkata: “Hei..! Apa tidak ada yang lebih baik dari yang engkau ucapkan! Jika itu benar jangan ganggu di pertemuan kami. Kembalilah! Dan bacakan saja kepada orang-orang yang datang kepadamu.”
Mendengar hal itu, Abdullah bin Rowahah berkata: “Ya Rasulullah! Sampaikan saja kepada kami dalam pertemuan ini, karena kami menyukai hal itu.”
Maka kaum muslimin, orang-orang kafir, dan Yahudi saling mencaci maki satu sama yang lain hingga hampir saja mereka berkelahi. Nabi Saw. tidak henti-hentinya menenangkan mereka hingga mereka semua kembali tenang.
Setelah itu Rasulullah ﷺ menaiki kembali keledainya dan melanjutkan hingga sampai di kediaman Sa’ad bin Ubadah. Lalu Rasulullah ﷺ berkata kepada Sa’ad: ”Wahai Sa’ad, tidakkah engkau mendengar apa yang diucapkan oleh Abu Ubab?—yang beliau maksud adalah Abdullah bin Ubay—dia berkata ini dan itu.”
Mendengar hal itu, Sa’ad bin Ubadah memberi masukan kepada Nabi ﷺ sebagaimana penggalan riwayat di atas.
Dari riwayat di atas, nampak sekali kekesalan dan sakit hati Abdullah bin Ubay terhadap baginda Nabi. Sakit hati itulah menutupinya dari cahaya kebenaran. Kegelapan hatinya berbuah menjadi dendam. Ia kumpulkan orang-orang di sekelilingnya yang bisa dipengaruhi untuk menjadi pengikutnya.
Segala sesuatunya telah disiapkan sehingga sewaktu waktu siap sedia merebut kekuasaan. Demi memuluskan ambisi itu, berpura-puralah masuk Islam. Mulailah ia menggembosi Islam dari dalam. Menjadi duri dalam daging.
Berkali-kali al-Qur’an membongkar kedok orang ini sebagai sosok kontroversi baik dari tutur kata dan perbuatannya yang kerap merugikan Islam dan kaum muslimin. Hampir setiap ada fitnah yang menimpa kaum muslimin di Madinah selalu ada peran Abdullah bin Ubay sebagai dalangnya.
Bahkan kehidupan rumah tangga Nabi pun tidak luput dari fitnah yang dilontarkannya. Peristiwa itu dikenal dengan hadits al-ifki (berita bohong) yang menimpa Ummul Mukminin Aisyah Ra yang dituduh berzina dengan salah seorang Sahabat Nabi ﷺ, Shafwan bin al-Mu’atthal (Lihat: Sabab Nuzul: QS. Al-Nur: 11).
Terlalu banyak ulah dan fitnah yang dilakukan oleh Abdullah bin Ubay sehingga membuat beberapa sahabat geram ingin memenggal lehernya. Salah satunya adalah Umar bin Khattab. Namun baginda Nabi, dengan sifat penyayangnya, mencegahnya seraya berkata: “Tidak wahai Umar. Nanti apa kata orang bahwa Muhammad membunuh Sahabatnya. Demi Allah, tidak.” (Lihat: Sabab Nuzul: QS. Al-Munafiqun:8).
BACA JUGA: Munafik, Sifat Buruk yang Dibenci Allah dan Rasulullah
Beruntunglah Abdullah bin Ubay dikaruniai anak yang soleh, Abdulllah juga namanya. Berita tentang beberapa sahabat yang geram dan ingin membunuh ayahnya pun sampai ke telinganya. Iapun menghadap Rasulullah Saw. memohon supaya rencana itu dibatalkan karena ia begitu mencintai ayahnya.
Kalaupun terpaksa harus dibunuh, biarlah dia (Abdullah) yang melaksanakannya. Hati Rasulullahpun terenyuh, lalu berkata,”Baiklah, berbaktilah kepada orang tuamu, ia tidak melihat darimu kecuali kebaikan.”
Untuk kesekian kalinya, baginda Nabi menunjukkan kelasnya sebagai nabi pembawa rahmat. Pemimpin mana di belahan dunia ini yang berkali-kali disakiti, difitnah, diteror tapi masih memaafkan dan melapangkan dadanya?
Sisi kemanusiaan Nabi tidak sampai di situ. Ketika Abdullah bin Ubay sakit, Rasulullahpun datang membesuknya, karena sacara dhahir Abdullah bin Ubay menunjukkan dirinya sebagai seorang muslim, maka ia berhak mendapatkan hal keislamannya itu dengan dibesuk ketika sakit.
Tapi akhirnya ajal menjemput pemimpin kaum munafik ini.
Sang anak, Abdullah, dirundung kesedihan yang amat dalam. Ia tahu bahwa mungkin tempat yang pantas bagi ayahnya adalah nereka. Tapi ia ingin menunjukkan bakti terakhirnya kepada sang ayah. Ia datang menemui Rasulullah Saw, meminta salah satu baju gamis beliau untuk dijadikan bagi ayahnya.
Baginda Nabipun mengabulkan permintaan itu. Selanjutnya, Abdullah memohon kepada Nabi: “Ya Rasulullah tidak ada yang bisa menyelamatkan ayahku kecuali doa yang engkau panjatkan. Datang dan salatkan ia ya Rasulullah…”
Berdirilah Rasulullah hendak berangkat tapi dihadang oleh Umar. Alasan Umar, sudah terlalu banyak luka yang digoreskan Abdullah bin Ubay kepada baginda Nabi dan kaum muslimin. Ditambah lagi memintakan ampun kepada orang munafiknya adalah sia-sia sebagaimana bunyi ayat 80 al-Taubah: “Kamu memohon ampun bagi mereka atau tidak memohon ampun bagi mereka (adalah sama saja).
BACA JUGA: 4 Tanda Munafik Sejati
Kendati demikian, baginda Nabi tetap beristighfar untuk Abdullah bin Ubay, sehingga turun lanjutan ayat di atas: “Kendati kamu memohon ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Allah sama sekali tidak akan memberi ampun kepada mereka…” Maka Rasulullah Saw berkata kepada Umar: “Aku mohonkan ampun untuknya 70 kali ditambah 70 kali ditambah 70 kali”. Seketika itu pula, Umar mundur sambil gemetar seraya berkata: “Betapa lancangnya aku kepada Rasulullah..betapa mulianya akhlak beliau…”
Kemudian Rasulullah ﷺ mensalatkan Abdullah bin Ubay, barulah turun ayat larangan mensalati orang munafik: “Dan janganlah kamu sekali-kali mensalatkan seseorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasulnya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. Al-Munafiqun: 84).
Sekelumit kisah di atas bukan bed time story, juga bukan novel alias fiktif. Melainkan kisah nyata yang dicatat dengan tinta emas dalam khazanah keilmuan Islam yang bisa dipertanggungjawabkan otentitasnya. Nabi yang agung itu memaafkan, melapangkan dadanya untuk orang (munafik) yang berkali-kali menyakitinya, memfitnahnya.
Nabi yang mulia itu menshalati dan beristighfar orang selama hidupnya menggembosi kaum muslimin. Semoga kita diberi kekuatan untuk senantiasa meneladaninya. Dan pada saat yang sama, semoga kita dijauhkan dari sifat-sifat munafiq. []