Oleh: Dr. Latief Awaludin
FENOMENA banyaknya perempuan berusaha dan berbisnis akhir-akhir ini sudah diprediksi oleh Rasulullah SAW. Pada masa nabi, wanita tidak ikut bekerja di bidang perniagaan dalam bentuk yang kasat mata. Karena itu, Nabi SAW menyatakan bahwa salah satu tanda-tanda hari Kiamat adalah wanita ikut di bidang jual beli.
Dari Abdullah bin Mas’ud, dia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya menjelang hari Kiamat nanti akan terjadi: (1) pengucapan salam keapda orang tertentu saja, (2) maraknya perniagaan hingga kaum wanita membantu suaminya berdagang, (3) pemutusan hubungan tali silaturrahim, (4) munculnya persaksian palsu, dan (5) penyembunyian persaksian yang benar.” (HR.Ahmad)
Dalam kitab Syarhul ‘Umdah disebutkan: “Sesungguhnya seorang laki-laki bersafar bersama istrinya dalam perjalanan haji. Perjalanan haji inilah yang paling biasa dilakukan kaum wanita. Sebab, kaum wanita tidak bersafar untuk berjihad, dan mereka pun tidak bersafar untuk berdagang. Kaum wanita hanya bersafar untuk menunaikan saja.”
BACA JUGA:Â Siapa Pejuang dari Aden-Abyan di Yaman pada Akhir Zaman?
Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bahwa pekerjaan wanita di bidang perdagangan hukumnya haram atau makruh. Sebab, hadits tersebut hanya menceritakan keadaan kaum wanita dan dunia perniagaan pada masa beliau masih hidup, sekaligus memberikan gambaran tentang bagaimana keadaan kaum wanita dan dunia perniagaan pada akhir zaman kelak sebagai tanda-tanda hari Kiamat.
Dalam hal ini perlu dimaklumi bahwa disandingkannya tanda kiamat yang pertama (wanita membantu suaminya berdagang) dengan tanda-tanda terjadinya Kiamat yang berupa perbuatan haram (yang disebutkan setelahnya), hal itu tidaklah menunjukkan bahwa tanda Kiamat yang pertama (wanita membantu suaminya berdagang) adalah perkara yang diharamkan. Sebab, menurut ulama Ushul Fiqh, dilalah iqtiran (kesamaan hukum antara dua hal karena keduanya disebutkan secara bersandingan) itu lemah atau tidak dapat dijadikan argumentasi.
Dalam ketentuan syariat, harta milik seorang istri itu tidak boleh diambil oleh suaminya, kecuali dengan kerelaan hati si istri. Allah membolehkan suami mengambil harta itu dengan syarat si istri merelakannya, karena istrilah yang memiliki hartanya. Hal ini sebagaimana yang Allah SWT tetapkan dalam Kitab-Nya. Hal ini menjelaskan bahwa siapa saja yang memiliki harta, maka hartanya itu terlarang dan haram diambil oleh orang lain, kecuali jika pemiliknya merelakan dan membolehkannya. Setelah diperbolehkan, barulah harta itu boleh diambil karena telah dipersilakan oleh pemiliknya.
Dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan. Dijelaskan juga bahwa kekuasaan perempuan atas hartanya sama dengan kekuasaan laki-laki atas hartanya, jika si perempuan itu telah haidh atau mampu mengatur keuangannya dengan baik. Firman Allah SWT: Â “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim..” (QS. An-Nisa: 10)
Masalah penguasaan harta ini termasuk dalam masalah penjualan dan pembelian barang yang dilakukan oleh wanita, serta wanita yang mempercayakan barang dagangannya kepada orang lain untuk diperniagakan. Semua itu boleh dilakukan, dengan dalil: “Hukum asal untuk segala sesuatu adalah boleh, selama tidak dijumpai dalil yang melarangnya. Sementara di sini tidak ada dalil yang melarangnya.”
BACA JUGA:Â Di Akhir Zaman, Banyak Orang Mengajak ke Neraka
Bahkan peristiwa yang telah terjadi menunjukkan bahwa hal itu boleh dilakukan. Demikianlah, dahulu Khadijah berniaga dan menitipkan barang dagangannya untuk dijual. Tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tercela. Seandainya hal tersebut tercela menurut syari’at, niscaya ada dalil yang mengharamkannya.
Hanya saja dalam Islam, perempuan hendaknya lebih mengutamakan untuk berada di rumah mengurus dan mendidik anak-anaknya agar menjadi anak yang sholih dan sholihah patuh kepada Allah dan Rasul-Nya. Boleh keluarnya perempuan dari rumah hanya boleh dilakukan saat ada keperluan mendesak dan darurat serta maslahat. Jadi, kaum wanita boleh berkecimpung di dunia perniagaan jika ia tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan syariat secara umum. []
SUMBER: PERSIS