Oleh: Bagas Triyatmojo, Relawan KOPAJA (Komunitas Peduli Anak Marjinal) Jakarta
DALAM kotor, ada proses belajar. Begitupun dalam salah dan gagal. Kalau kita “menghalangi” anak-anak kita dari kotor dan gagal, bisa jadi, kita telah mengurangi kesempatan mereka untuk belajar.
Diceritakan ada seorang anak, dia sedang belajar membersihkan rumah, hari itu dia ingin mengepel teras rumahnya. Di dekatnya, orang tuanya memperhatikannya. Mengambil air, mengambil pel, kemudian mulai mengepel. Baru beberapa langkah, baru beberapa petak keramik dipel. Orang tuanya sudah membuka suara.
“Itu jangan gitu ngepelnya, nanti kotor kemana-mana, lama bersihnya.”
BACA JUGA: Ini Alasannya Mengapa Mendidik Anak Harus Sesuai Zamannya
“Sini sini caranya bapak tunjukkin”, bapaknya mulai mencontohkan mengepel.
Di lain kesempatan, si anak ingin mencabuti rumput di pekarangan rumahnya. Kejadiannya serupa, baru beberapa menit mencabuti rumput, orang tuanya kembali menghampiri dan menegur cara si anak mencabuti rumput.
“Bukan gitu caranya Nak, begini harusnya”.
Dan begitu juga untuk pekerjaan lainnya, menyapu, mencuci piring, mengelap kaca. Semuanya langsung dikoreksi, padahal baru sebentar mengerjakan. Si anak hanya terdiam, namun merenung sepanjang malam.
Memang benar, orang tua telah memiliki pengalaman yang lebih banyak ketimbang anaknya. Telah mengetahui lebih banyak cara tentang sesuatu, ketimbang anaknya.
Namun mungkin, bukan berarti setiap cara anak yang berbeda, tidak perlu langsung disalahkan dan dikoreksi. Mungkin ada baiknya, membiarkan anak dalam kesalahan, agar mereka bisa berpikir dan belajar.
Semisal ketika mengepel, namun ternyata malah mengotori.
Biarkan. Biarkan mereka melihat dan mulai berpikir. “aku mengepel, kok bukannya bersih tapi malah jadi kotor ya? Apa yang salah ya?”
Dari situ, mereka belajar, mereka tersadar. Bandingkan dengan, setiap di awal salah –bahkan belum terlihat salah- sudah dikoreksi caranya.
Darimana si anak akan mengerti “seperti ini loh yang salah”.
Dari salah, mereka belajar. Dari salah mereka berpikir. Orang tua manapun pasti mengharapkan kelak anaknya menjadi lebih baik dari orang tuanya.
Namun ketika, secara tidak sadar, orang tua terlalu cepat mendiktekan cara melakukan segala sesuatunya, setiap caranya harus seperti cara orang tuanya, bukankah itu artinya orang tua malah menjadikan anaknya “seperti” orang tuanya? Tidak menjadi lebih.
BACA JUGA: Jangan Belah Anakku, Wahai Nabi Sulaiman!
Karena setiap yang dilakukan, diarahkan bagaimana caranya, bukan karena menemukan atau melakukan sendiri.
Benar. Orang tua harus mengarahkan anaknya. Benar pula. Orang tua punya segudang pengalaman yang belum diketahui anaknya. Namun mungkin ada baiknya, sebagai orang tua, mulai memberikan kesempatan kepada anak untuk berkreasi menurut kemampuannya.
Biarkan sesekali salah. Asalkan kesalahan itu tidak sampai membahayakan jiwa dan keselamatan mereka, mereka akan belajar menjadi lebih baik. []