PERBEDAAN pendapat dalam masalah ijtihadiyyah atau furu (cabang) agama, tidak boleh dijadikan dasar untuk membangun wala’ (loyalitas) dan bara’ (permusuhan) kepada sesama muslim. Apalagi untuk alasan menyesatkan seorang muslim atau mengeluarkannya dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Menyesatkan seorang muslim bukan perkara yang enteng, tapi masalah yang sangat berat dan mengandung resiko yang sangat berbahaya di hadapan Allah kelak. Imam Ahmad berkata: “Mengeluarkan seorang dari Ahlus Sunah itu perkara yang sangat berat.”
BACA JUGA: Khitan bagi Perempuan, Ini Kata Ulama 4 Mazhab
Perbedaan pendapat merupakan sunatullah (ketetapan Allah) yang tidak mungkin untuk dihindari pada umat ini sampai hari kiamat. Perbedaan pendapat dalam lingkup ini, merupakan salah satu bentuk rahmat (kasih sayang) Allah.
Dengan adanya perbedaan pendapat, menjadi media untuk menempa kedewasaan kita. Bagaimana kita mengolah perbedaan ini menjadi sesuatu yang indah dalam balutan ukhuwah Islamiyyah. Sebagaimana halnya pelangi, berwarna-warni, namun begitu indah bagi setiap mata yang memandangnya.
Imam Syafi’i berpendapat disyari’atkannya qunut Subuh. Sedangkan muridnya, imam Ahmad, berpendapat tidak disyari’atkannya hal tersebut.
Akan tetapi tidak pernah ternukil dari imam Ahmad bahwa beliau menyesatkan atau mentahdzir gurunya, demikian juga sebaliknya. Ini baru dalam satu masalah. Dan masih ada masalah-masalah yang lain dimana mereka berbeda pandangan di dalamnya.
BACA JUGA: Syaikh Ahmad Izzah Al-Andalusy, Kisah Algojo yang Jadi Ulama Besar
Walau berbeda pendapat, beliau berdua tetap saling menghormati, mencintai dan memuji satu sama lain. Bahkan imam Ahmad pernah menyatakan, bahwa beliau tidak pernah henti mendo’akan kebaikan bagi gurunya Imam Syafi’i tiap selesai dari salat fardhu selama empat puluh tahun. Masya Allah.
Demikianlah kondisi para ulama Salaf. Mereka tidak hanya mewariskan perbedaan pendapat, tapi juga mewariskan bagaimana adab dalam berbeda pendapat. Sudahkah kita mengambil dua warisan ini? []
Facebook: Abdullah Al-Jirani