SUATU kali, Khalifah Umar bin Khattab berjalan kaki pulang dari Makkah ke Madinah. Di tengah perjalanan, lelaki bergelar Alfaruq itu mendapati seorang Yahudi berjualan kuda.
Barang dagangannya tersisa satu. Umar kemudian membeli hewan itu. Dalam perjalan ke Madinah, tiba-tiba kuda yang baru dibeli itu tak bisa lari kencang bahkan tertatih-tatih.
Ternyata salah satu kaki kuda itu sakit hingga jalannya pincang. Umar jengkel dan merasa dikibuli. Dengan hati amat dongkol, Umar kembali menemui si Yahudi sambil menuntun kudanya. Kepada si Yahudi itu Umar langsung komplain dan ingin mengembalikan kudanya.
BACA JUGA: Menurut Umar, Negara akan Mencapai Kejayaan dengan Tiga Hal Ini
Tetapi, si Yahudi tak mau kompromi. Baginya, barang yang sudah dibeli tak bisa dikembalikan. Karena sama-sama bertahan, keduanya sepakat membawa kasus ini ke meja hijau. Kebetulan, hakim setempat adalah Syuraih Ibn Alha-rits Alkindi.
Banyak orang ingin menyaksikan pengadilan ini karena salah satu yang pihak beperkara adalah pemimpin tertinggi mereka, Amirul Mukminin. Tentu saja, antara Syuraih dan Umar sudah saling kenal, dan inilah yang membuat si Yahudi kecil hati.
Selanjutnya, baik Umar maupun penjual kuda menceritakan masalah yang mereka perkarakan itu, sementara Syuraih mendengarkannya dengan saksama. Tetapi, apa yang diputuskan hakim itu sungguh di luar dugaan. Syuraih ternyata justru memenangkan si Yahudi.
Umar tidak bisa berbuat apa-apa ketika Syuraih berkata, “Wahai Amirul Mukminin, jikalau berkeras mengembalikan kuda itu, Anda harus mengembalikannya dalam keadaan tidak cacat. Sebab, seperti itulah keadaannya ketika Anda membeli. Itu pun dengan catatan jika penjual kuda ini mau menerima pengembalian tersebut.
“Sebab, sejatinya Anda tidak bisa komplain, dengan alasan apa pun, ketika Anda sudah berpisah dengan Yahudi penjual kuda ini. Bukankah Rasul saw mengajarkan bahwa khiyar hanya bisa dilakukan jika antara penjual dan pembeli belum berpisah (ma lam yatafarraqaa)?”
BACA JUGA: Sibuk Rapikan Rambut, Umar bin Abdul Aziz Terlambat Shalat
Umar akhirnya pulang ke Madinah dengan menuntun kuda pincang. Meski demikian, dia sangat berbahagia bisa menemukan sosok seperti Syuraih, hakim yang bisa memutuskan perkara dengan adil, tidak peduli dengan status sosial orang yang minta keadilan kepadanya. []
Sumber: Pahala itu mudah /Karya: Siti Nurhayati dkk/Penerbit: Republika/2005