Iman yang lemah
IMAN yang lemah dapat melemahkan cinta kepada Allah dan menguatkan cinta dunia dalam hatinya, dan bahkan lemahnya iman itu dapat menguasai dan mendominasi dirinya sehingga tidak tersisa dalam hatinya tempat untuk cinta kepada Allah kecuali sedikit bisikan jiwa, sehingga pengaruhnya tidak nampak dalam melawan jiwa dan menahan maksiat serta menganjurkan berbuat baik.
Akibatnya ia terperosok ke dalam lembah nafsu syahwat dan perbuatan maksiat, sehingga noda hitam dosa menumpuk di dalam hati dan akhirnya memadamkan cahaya iman yang lemah dalam hati. Dan ketka sakaratul maut datang, cinta Allah semakin melemah manakala ia melihat ia akan berpisah dengan dunia yang dicintainya.
Kecintaannya pada dunia sangat kuat, sehingga ia tak rela meninggalkannya dan tak kuasa berpisah dengannya. Pada saat yang sama, timbul rasa khawatir dalam dirinya bahwa Allah murka dan tidak mencitainya.
Cinta Allah yang sudah lemah itu berbalik menjadi benci. Akhirnya bila ia mati dalam kondisi iman seperti ini, maka ia mendapat su’ul khatimah dan sengsara selamanya.
BACA JUGA: Perkataan Dua Orang Shalih saat Menghadapi Kematian
Sebab yang melahirkan su’ul khatimah ini adalah cinta dan cenderung kepada dunia disertai iman yang lemah yang pada gilirannya mengakibatkan lemahnya cinta kepada Allah. Cinta dunia adalah penyakit yang umumnya menimpa kebanyakan manusia.
Jadi, orang yang pada saat mati, hatinya didominasi oleh urusan-urusan dunia, maka hal itu mengisi seluruh ruangan dalam hatinya. Selanjutnya, bila dalam kondisi seperti itu roh keluar dari jasadnya maka hatinya tunduk pada dunia, dan ia terhijab dari Tuhannya.
Dihikayatkan bahwa Sulaiman ibn Abdul Malik, saat memasuki kota Madinah untuk berziarah, berkata, “Apakah di Madinah masih ada tokoh yang pernah bertemu sahabat?” Mereka menjawab, “Ya, masih. Namanya Abu Hazim.” Lalu ia minta diantar ke tempat Abu Hazim.
Sesampainya di depan Abu Hazim, Sulaiman berkata, “Hai Abu Hazim, kenapa kami tak suka mati?” Abu Hazim menjawab, “Kalian memakmurkan dunia dan menghancurkan akhirat. Maka kalian tak sudi keluar dari kemakmuran menuju kehancuran.”
Sulaiman berkata, “Benar engkau! Lalu bagaimana posisi kami di sisi Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Cocokkan amalmu dengan Kitabullah.”
Sulaiman bertanya, “Di mana hal itu kutemukan?”
Jawab Abu Hazim, “Dalam firman Allah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang banyak berbakti benar-benar berada dalam surga yang penuh kenikmatan, dan sesungguhnya orang-orang yang durhaka benar-benar berada dalam neraka’.”
Sulaiman bertanya lagi, “Di mana rahmat Allah?” Abu Hazim menjawab, “Rahmat Allah dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Sulaiman berkata, “Lalu bagaimana pengadilan di depan Allah?”
Abu Hazim menjawab, “Orang yang berbuat baik adalah seperti orang yang telah lama hilang kembali ke keluarganya, sedangkan orang yang berbuat jahat seperti budak yang melarikan diri lalu dihadapkan kepada majikannya.”
Lalu Sulaiman menangis sampai-sampai suaranya meninggi dan tangisannya menyayat hati. Kemudian ia berkata, “Berilah aku wasiat!”
Abu Hazim menjawab, “Awas! Jangan sampai Allah melihatmu pada saat Ia melarangmu atau Ia luput darimu pada saat ia memerintahkanmu.”
Shidiq Hasan Khan menukil pandangan al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa su’ul khatimah ada dua tingkatan dan salah satunya lebih besar dari yang lain. Tingkatan yang sangat besar adalah bila yang mendominasi hati pada saar sakaratul maut adalah syak (keraguan) atau pengingkaran.
Apabila seseorang wafat dalam kondisi seperti itu maka selamanya ia akan terhijab dari Allah. Hal ini akan membuatnya jauh dari rahmat Allah dan memperoleh azab yang abadi.
Kedua, yang setingkat di bawahya, yaitu bila yang mendominasi hatinya adalah cinta pada dunia sehingga hal itu memenuhi ruangan dalam hatinya dan tidak menyisakan tempat untuk yang lain. Bila rohnya melayang dalam kondisi seperti itu, maka itu sangat mmbahayakan, sebab seseorang mati tergantung atas kebiasaannya selama ia hidup.
BACA JUGA: Jika dari Hasil Evolusi, Manusia Bakal Mati karena Lambungnya Sendiri
Pada saat itu kerugian yang dideritanya sangat besar. Kecuali memang jika akar iman dan cinta kepada Allah telah tertanam di dalam hati cukup lama dan diperkuat oleh amal shaleh, maka hal itu dapat menghapus kondisi seperti di atas.
Selanjutnya, bila kualitas imannya mencapai kadar yang dapat mengeluarkannya dari neraka, maka ia akan keluar dari neraka. Bila kualitas imannya lebih rendah, maka ia masuk neraka dalam waktu lama. Bila iman itu hanya sebesar biji sawi, maka ia pasti akan keluar dari neraka walaupun setelah beribu-ribu tahun.
Selanjutnya setiap yang meyakini Allah berikut sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan keliru, baik karena taklid atau dengan pikiran sendiri, maka ia berada dalam bahaya, dan zuhud serta keshalehan sekalipun tidak dapat menolak bahaya ini. Bahkan ia tidak akan selamat kecuali dengan akidah yang benar sesuai dengan al-Qur’an dan sunah. []
Sumber: Ensiklopedia Kiamat/ Karya: Dr. Umar Sulayman al-Asykar/Penerbit: Serambi