SUATU hari di bulan Mei 1995. Saya berdiri tertegun di depan Tata Usaha SMA. Ibu petugas mengatakan bahwa rapor dan ijazah saya tak bisa diambil. “Masih ada yang harus dibayar 75 ribu, untuk buku perpustakaan sebagai persyaratan pengambilan rapor dan ijazah,” ujarnya sembari menyodorkan selembar kertas.
Saya mengernyit. Tak ada uang di saku celana abu-abu itu. Jangankan 75 ribu—yang waktu itu jumlahnya segaban tentu saja—untuk sekadar ngisi perut saja, tidak ada. Saya meringis. SMAN 1 Siliwangi jam 10 sangat sunyi. Nyaris tidak ada anak yang lain.
BACA JUGA: Ustadz Bowo
Tiba-tiba, entah bagaimana, seorang anak perempuan, bekas teman sekelas saya di kelas 1, menyodorkan uang sejumlah itu ke hadapan saya. “Ini, pakai uang ini saja dulu,” ujarnya sembari tersenyum.
Saya tersenyum. “Eh?”
“Kamu bisa kembalikan uang itu kapan saja,” ujarnya lagi.
Dia menunggu saya menyerahkan uang itu ke TU, dan kemudian kami berjalan ke tempat angkot di Pasar Rebo. “Terima kasih, ya,” ujar saya berulang kali. Layaknya dua anak SMA, kami tertawa-tawa, dan sesekali membicarakan mau kemana dan ngapain setelah SMA.
Dia naik angkot. Saya pulang jalan kaki.
Uang pinjaman itu, tentu saja sudah saya kembalikan. Hanya, saya tidak ingat persis kapan saya mengembalikan padanya. Walau seingat saya, dia tidak pernah sekalipun menagih.
___
Suatu waktu, anak saya laki-laki, bertanya: “Mengapa ayah suka sekali melakukan hal ‘ini itu’, bahkan tanpa berpikir dua kali?”
BACA JUGA: Si Kribo
Saya memandanginya dan tersenyum. “Boy, well,” ujar saya padanya, “Kalau kamu berbuat baik, sekecil apapun, insyaAllah akan kembali pada kamu suatu waktu.”
Seumur hidup saya, saya bersyukur, senantiasa dikelilingi oleh orang-orang baik. Satu orang baik harus pergi dari kehidupan saya, ada orang baik lainnya yang menggantikan tempatnya. Begitu seterusnya.
Apa yang dilakukan oleh teman perempuan saya SMA itu, mungkin bagi dia bernilai kecil dan sudah terlupa olehnya sendiri. Namun saya tidak. Bahkan sampai hari ini. Saya menyimpanya begitu pribadi. Dan indah. []