KELAS 5 SD, tahun 1998. Kami berenam duduk melingkar di saung kebun milik Dani Wira. Satu pohon coklat, dan empang yang luas, dan sore yang hujan.
Kami berbicara ingin jadi apa. Giliran saya, hanya ada dua cita-cita di kepala. Jadi gitaris seperti Eet Syahrani. Dan jadi penulis karena terinspirasi oleh Hilman sampe kebawa mimpi.
Eet waktu itu baru saja muncul dengan “Bis Kota”-nya mengiringi Iyek. Top banget. Kemudian, dia menggantikan Ian Antono di God Bless. Makin kesengsem saja saya.
BACA JUGA: Jadi-jadian
Kalau Anda merasa jago gitar, tapi nggak pernah tau siapa itu Eet, mending ke laut aja, karena Eet pasti lebih jago daripada Anda.
Hilman, saya pertama kali baca Lupus di Majalah HAI bekas, beli di Pasar Jumat seharga 200 perak. Sejak itu saya juga menulis di buku tulis. Pas edisi awal PSBB, saya membaca semua karya Hilman yang ada di rumah, terutama Olga dan Lupus tentu saja.
Seiring usia, keinginan jadi kayak Eet menguap. Bukan apa, kelas 3 SMA, saya malah jadi nge-fans sama Ahmad Dhani. Tapi keinginan menulis tak pernah padam.
Waktu itu, saat melingkar itu, semua sahabat masa kecil itu menyatakan mendukung saya menulis. Mereka menceritakan ide-ide dan saya kebagian menuliskannya.
Cerita pertama kami adalah tentang pendekar, karena waktu itu kami baca Wiro Sableng “Empat Brewok dari Gua Sanggreng” di mushola kampung saat orang lain pada tarawih.
Tapi selain para sahabat, tak ada yang percaya saya bisa jadi penulis. Tahun 1998, di kampung kecil, tak akan ada yang yakin, engkau bisa hidup dari melakukan hal seperti itu.
Akhir kelas 3 SMA, tahun 1995, hampir saja saya ingin jadi guru. Teman sebangku mengatakan ia ingin jadi penulis. Tahun 2005, ia jadi seorang guru, dan saya hidup dari menulis.
BACA JUGA: Mungkin Ayah Bukan Orang Baik-baik?
Saya ga kaya banget dari menulis. Tapi saya hidup. Sampai saat ini, menulis adalah anugerah dari Allah SWT yang membuat saya diamanahi istri dan tiga orang anak.
Tahukah Anda, kalau Anda ingin jadi penulis, Anda bisa memulainya sekarang juga. Menulis adalah satu jendela yang selalu terbuka untuk siapa saja. Saat hendak menulis, kata William Forester, “Mulailah dengan perasaanmu. Setelah itu, menulislah dengan pikiranmu.”
Percayalah, hiduplah dengan cita-cita, maka engkau akan selalu menemukan tujuan. Seberat apapun keadaanmu.