BEBERAPAwaktu lalu saya dikirimi sebuah artikel yang berjudul “Dizalimi bank syari’ah”. Kesimpulan yang bisa ditangkap dari artikel tersebut adalah bahwa bank syari’ah yang ada saat ini “tidak syari’ah” karena masih menerapkan akad riba.
Menurut hemat kami, kesimpulan ini terlalu prematur dan cenderung mengeneralisir, bahkan menzalimi bank syariah itu sendiri. Hal ini terjadi karena tidak memahami diskripsi (gambaran)nya secara utuh.
Padahal dalam suatu kaidah disebutkan, bahwa hukum merupakan cabang dari tashawwurnya (gambarannya). Hukum yang dibangun di atas gambaran yang tidak lengkap atau bahkan keliru dari obyek yang akan dihukumi, bisa dipastikan hasilnya akan cacat.
BACA JUGA: Pendiri Bank Syariah Pertama di Dunia, Saeed Lootah Meninggal Dunia
Menanggapi hal ini, ada beberapa catatan yang perlu kami sampaikan, dintaranya :
(1). Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah (UU No 21 tahun 2008).
Dalam hal ini, bank syariah berpayung kepada MUI yang telah membentuk satu dewan syariah yang bersifat nasional (DSN MUI) yang membawahi seluruh lembaga keuangan yang ada di Indonesia, termasuk di dalamnya bank-bank syariah.
Selain itu, kinerja dari bank syariah juga diawasi oleh DPS (Dewan Pengawas Syariah) yang bertugas mengawasi segala aktifitas bank agar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
(2). Dari point pertama, maka bisa kita katakan, bahwa “konsep” produk bank syariah sudah sesuai dengan prinsip syariah berdasarkan regulasi terkait yang telah mengadopsi fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI.
(3). Akad yang ada di dalam bank syariah bukan akad hutang sebagaimana dipahami sebagian pihak, tapi akad murabahah dan mudharabah. Kedua akad ini merupakan akad yang diperbolehkan (halal).
Untuk akad Murabahah berdasarkan fatwa DSN MUI No. 04/DSNMUI/IV/2000, sedangkan akad Mudharabah berdasarkan fatwa DSN MUI No 115/DSNMUI/IX/2017. Oleh karena itu, margin keuntungan yang didapatkan juga berstatus halal, bukan riba.
Jaminan dalam akad mudharabah pun juga diperbolehkan mengacu kepada Standar AAOIFI Nomor 39 (2-3-3) sebagai sumber pembiayaan jika nantinya pemegang amanah melampaui batas, lalai, dan atau menyalahi syarat-syarat yang telah ditentukan.
(4). Jika ternyata masih ada praktek-praktek yang belum sesuai dengan prinsip syariah, maka hal itu sifatnya personal yang dilakukan oleh oknum yang ‘nakal’ atau oknum bank syariah tertentu yang tidak mewakili seluruh bank syariah.
Maka mengeneralisir kasus seperti ini, merupakan kezaliman terhadap seluruh bank syariah yang ada. Dalam kaidah fiqh disebutkan, bahwa qadhiyyatul ‘ain (kasus yang menimpa personal) itu tidak bisa dijadikan dasar untuk membangun hukum secara umum.
Jika ingin menyampaikan keluhan, hendaknya dinisbatkan kepada oknum personal atau oknum bank tertentu saja, misalnya: bank syariah fulan atau yang semisalnya.
(5). Jika benar masih ada beberapa praktek yang belum sesuai syariah, maka merupakan perkara yang wajar dan dimaklumi karena segala sesuatu membutuhkan proses. Hal seperti ini tidak hanya terjadi pada bank syariah, tetapi juga terjadi pada bidang-bidang yang lainnya.
Bahkan “kesyariahan” kita pun tidak bisa terwujud secara tiba-tiba, tapi juga melalui proses yang panjang. Dan sangat mungkin sampai hari ini juga masih mengalami perbaikan di berbagai sisi.
Demikian beberapa catatan dari kami. Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada seluruh kaum muslimin di Indonesia, hendaknya hati-hati dalam mengambil fatwa, terkhusus untuk hukum yang berkaitan dengan masalah muamalat kontemporer yang rumit dan berkaitan dengan hajat orang banyak.
BACA JUGA: COVID-19 vs Perbankan Syariah
Hendaknya untuk merujuk kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN). Karena fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh DSN MUI, merupakan produk ijtihad kolektif (ijtihad jama’i), bukan produk personal.
Produk ijtihad kolektif berarti produk kajian para ahli fiqh, ahli ekonomi, ahli akuntansi, otoritas terkait dan lain-lain. karena menjadi kajian multi disiplin ilmu dan kompetensi, maka pembahasannya pun memakan waktu yang lama (satu masalah bisa mencapai enam bulan), pertemuan yang panjang, dan mempertimbangkan banyak aspek. Dan ijtihad kolektif, biasanya lebih akurat, detail dan dekat kepada kebenaran.
Bermuamalah dengan bank syariah yang konsep asalnya syariah (walaupun belum sempurna), jauh lebih baik dan lebih aman daripada bermuamalah dengan bank konvensional. Dalam kaidah disebutkan : “Apa yang tidak bisa didapatkan semuanya maka jangan ditinggalkan semuanya.” Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani