DALAM hidup ini ada dua golongan manusia yang memiliki keyakinan berbeda yakni golongan yang percaya Tuhan itu ada dan golongan yang tidak percaya Tuhan.
Mereka yang percaya, memiliki keyakinan yang berbeda-beda pula. Dalam menafsirkan Tuhan, setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda. Itulah sebabnya, di dunia ini lahir berbagai macam agama, namun hanya satu agama yang diakui Allah SWT yakni Islam. Sedang, mereka yang tidak percaya akan adanya Tuhan, kita kenal sebagai orang-orang Atheis. Mereka tak yakin bahwa ada dzat yang maha kuasa di atas segalanya.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa jika kita hidup beragama, maka peluang memperoleh kesehatan yang baik akan lebih besar daripada tidak beragama. Benarkah?
BACA JUGA:Â Laporan Pusat Penelitian PEW: Islam Berada di Puncak Daftar Agama yang Hadapi Diskriminasi di Seluruh Dunia
Pada Desember 2013, sebuah hasil peneltian yang diterbitkan JAMA Psychiatry menemukan bahwa risiko depresi akan jauh lebih sedikit dialami oleh orang yang beragama dibanding mereka yang tidak. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknologi MRIs untuk melakukan pencitraan diagnosis penyakit pasien. MRIs menunjukkan bahwa otak orang yang taat beragama memiliki lapisan yang lebih tebal dibandingkan orang yang sebaliknya.
Seorang pendiri dan ketua NeurExpand, serta dosen di Harvard Medical School, Dr. Majid Fotuhi, mengatakan bahwa salah satu perusak otak yang paling buruk adalah stres. Ketika stres tubuh menghasilkan zat-zat beracun yang membahayakan. Stres bisa teratasi salah satunya dengan berdoa. Dan hal ini pastinya tidak akan dilakukan oleh mereka yang tidak percaya Tuhan.
Sebelumnya Asisten peneliti dari Penn State University, Christopher Scheitle pada hasil penemuannya menyebutkan bahwa sekitar 40 persen orang yang menjalankan praktik agama berada dalam kondisi sehat, namun bagi mereka yang tidak cenderung mengabaikan pola hidup sehat.
Penelitian Scheitel dimulai pada 1972-2006 dengan jumlah kasus yang berhubungan dengan agama sebanyak 423. Penelitiannya menunjukkan, sekitar 40 persen penganut agama yang taat, dalam kondisi kesehatan baik dan 25 persen lainnya yang berpindah keyakinan ke agama lain, juga dalam kondisi kesehatan baik.
Ia juga menyimpulkan bahwa seperempat di antara orang dengan sikap yang lebih liberal dalam beragama, masih dianggap memiliki manfaat kesehatan istimewa dan akan turun sampai 20 persen jika ia berhenti total dari agama alias Atheis.
Sebuah sumber ilmiah penting dunia kedokteran juga pernah dipublikasikan dalam International Journal of Psychiatry in Medicine. Di mana dalam jurnal tersebut dijelaskan bahwa mereka yang memilih tidak berkeyakinan lebih sering sakit dan mempunyai masa hidup lebih pendek. Mereka lebih berpeluang menderita asam lambung dua kali lebih besar dibanding kaum yang beragama. Selain itu, tingkat kematian mereka akibat penyakit pernapasan 66 persen lebih tinggi daripada mereka yang beragama.
Selain itu, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hayward, menemukan adanya perkembangan hippocampus mereka selama 28 tahun. Hippocampus adalah bagian otak yang memperbesar peluang depresi serta Alzheimer di usia tua. Penelitian ini sekaligus menunjukkan orang yang menjalani kehidupan beragama, cenderung akan memiliki ukuran hippocampus yang lebih kecil dari yang tidak (orang Atheis).
Harold G. Koenig, direktur Center for Spirituality, Theology, and Health di Duke University menulis beberapa buku seperti The Healing Power of Faith and Mental Health. Buku-buku tersebut berisi mengenai manfaat agama bagi kesehatan. Manfaatnya antara lain, menurunnya stres melalui doa.
BACA JUGA:Â Benarkah Islam Pisahkan Ilmu Pengetahuan dan Agama?
David B. Larson dan timnya dari The American National Health Research Center, pernah membandingkan antara orang Amerika yang taat dan yang tidak taat beragama. Hasilnya, orang yang taat beragama menderita penyakit jantung 60 persen lebih sedikit, tingkat bunuh diri 100 persen lebih rendah, menderita tekanan darah tinggi dengan tingkat yang jauh lebih rendah, dan angka perbandingan ini adalah 7:1 di antara para perokok.
Meski dengan berbagai penelitian ini, mereka yang memutuskan tidak beragama tetap bergeming untuk percaya Tuhan. Namun sebenarnya orang yang berpandangan tidak percaya kepada Tuhan hanyalah sementara. Setelah ia mati, ia pasti percaya bahwa ternyata Tuhan itu ada. []