Part I
INI tiga kisah yang terjadi dalam sehari. Tentang hati yang mulai resah ketika waktu memang tidak mampu untuk menunggu. Kelapangan hati dan kesyukuran kunci di atas segala resah. Hidup memang selalu tidak mudah jika yang dilihat hanya potongan kisah orang lain.
Entah sejak kapan mulainya wanita ini dekat dengan dosen yang mengajarkan salah satu mata kuliahnya dulu, yang jelas mereka menjalin komunikasi sewaktu-waktu. Pagi ini mereka menyempatkan bertemu. Salah satu kantin kampus menjadi titik bertemu. Bukan pertemuan yang khusus direncanakan, sekedar basa basi. Dia janji bertemu dengan teman kuliah sementara sang dosen ada jam mengajar siang hari.
Akhirnya ku menemukanmu
Saat hati ini mulai meragu
Akhirnya ku menemukanmu
Saat raga ini ingin berlabuh
BACA JUGA: Raihan!
Sebuah lagu dari band kenamaan Indonesia diputar pelan melalui mp3, sebagai pengiring obrolan mereka yang sejak tadi ngalor ngidul. Percakapan sederhana tentang kehidupan dan bagaimana untuk tetap berjuang hingga tiada lagi jiwa yang rapuh oleh terpaan masalah.
“Saya suka sekali dengan lagu band ini terutama yang sekarang kita dengar, bahkan sebelum menikah. Seperti sebuah sugesti yang memberikan kekuatan untuk tetap semangat.”
“Sepertinya cocok buat saya, Bu.” Wanita itu memberanikan diri mengakui keresahannya.
“He he he. Saya melihat banyak yang galau soal ini. Santai saja, jodoh bukan perkara suka atau tidak suka juga cinta atau tidak cinta. Menikah itu persoalan kebersamaan dan tanggung jawab.”
“Ini bosan sekali, seperti tidak ada hal lain yang patut untuk dipertanyakan.”
“Ya saya paham. Tiap tempat memang beda budaya. Saya juga sempat kaget ketika pindah di kota ini. Sebelumnya di kota asal saya, mereka memang tidak turut perhatian terhadap urusan pribadi orang lain.”
Keduanya saling bertukar pikiran. Wanita itu seperti mendapatkan kekuatan baru. Di luar lingkungan sekarang, masih ada yang peduli dengan perasaannya tanpa pertanyaan ‘kapan menikah?’.
***
Part II
Wanita itu sudah mengakhiri pertemuan dengan teman kampusnya dulu. Rona bahagia terlihat dari wajah karena kerinduan sudah bermuara ke tempat semestinya. Sahabat memang tertakdir sebagai sosok yang tertulis untuk mengemban tugas mengerti sisi lain dari kehidupan temannya. Mereka saling menguatkan di tengah goncangan kuat perihal kenapa belum juga menyempurnakan separuh agama.
BACA JUGA: Sang Pengkhianat
Tidak sengaja matanya menangkap status yang ditulis rekan facebook. Sosok yang dulu dikenalnya saat tergabung sebagai member bisnis online yang menjual produk kecantikan. Hari itu, rekannya mengabarkan jika sekarang sudah berganti status kembali menjadi seorang istri meskipun kini harus mulai kehidupan baru dengan sosok yang baru pula.
Percakapan dimulai lewat inbox.
‘Selamat ya, Mbak. Semoga pernikahan kali ini langgeng.’
‘Makasih, Dear. Senang aku, semoga suamiku kali ini benar-benar tulus.’
Ah hati tetap saja perih. Begitu yang dirasakan wanita itu, padahal yang dilihatnya hanya penampakan dunia maya.
‘Berbagi tips lah, semoga aku segera nyusul. Lama menghilang, gitu muncul sudah mengabarkan kegembiraan.’
‘Aku memang memperbaiki diri. Belajar dari kesalahan pada pernikahan pertama. Tapi jujur, karena kebutuhan ekonomi yang begitu mendesak ya aku harus lebih giat bekerja ketimbang ikut pengajian rutin tiap minggu. Keluarga membutuhkan tulang punggung. Aku hanya memperbaiki pola ibadah, shalat tepat waktu, rajin puasa sunah dan kebaikan lain semampuku saja. Bedanya kali ini, aku lebih mengutamakan ibu tentunya tidak lupa dengan anak. Sebisa mungkin apapun kulakukan untuk menyenangkan hatinya. Misalnya ibuku butuh uang, ya sudah aku beri saja. Aku gak apa-apa tidak punya uang yang penting ibu jangan sampai berhutang. Pokoknya gitu aja sih. Mungkin ini doa ibu, aku dapat berjodoh dengan lelaki yang lebih baik. In Sya Allah.’
‘Semoga suaminya menjadi imam teladan ya, Mbak. Aamiin.’
‘Aamiin. Suamiku memang belum menjadi sosok seperti ihwan tapi kami bertekad untuk saling mengingatkan. Untuk bersama meraih cinta Allah.’
Wanita itu kembali memetik nasehat dari perbincangannya kali ini. Setidaknya, dia masih bersyukur nasib buruk dalam salah langkah memilih jodoh tidak dia tempuh. Mengingat kembali, jika teman chat itu pernah bercerita perihal pernikahan pertamanya.
Mereka menikah tanpa restu, sang ibu keukeh tidak setuju. Terjawab sudah jika firasat ibu memang jarang salah. Sang suami punya hobi main perempuan juga ringan tangan ketika ada masalah. Pernikahan itu kandas ketika memasuki usia tahun kelima. Beberapa tahun menyandang status tidak menyenangkan sebagai seorang janda.
BACA JUGA: Ujian dalam Penantian
***
Part III
Wanita itu hendak melepas lelah lewat pejaman mata yang sedari tadi begitu kantuk. Sebuah notifikasi bbm membuyarkan matanya yang kian berayun.
Ping!!!
‘Kakak gak jadi nikah, Dek. Huhu’
Berikutnya beberapa pesan masuk secara beruntun, isinya berbagai emoticon yang menggambarkan suasana batin.
‘Kok bisa?’
‘Mungkin tidak jodoh kali, Dek.’
‘Aku ngerti itu. Maksudnya apa penyebab gagal rencana itu?’
‘Intinya komunikasi yang memburuk dan sesuatu lain hal yang intinya kakak sudah tidak ingin membahas lagi.’
‘Hmm ….’
Perbincangan terus berlanjut. Wanita itu mampu merasakan pedih hati temannya. Beberapa bulan lalu cerita impian tentang pernikahan begitu indah diperdengarkan. Segala rencana telah disusun. Dalam waktu sekejap, takdir mengubah segalanya. Siapa yang harus disalahkan? Bukankah jelas dalam alquran dilarang mendekati zina?
BACA JUGA: Bantal Guling
Wanita itu sadar diri. Tak lantas menyalahkan temannya sebab dahulu pernah mengalami hal serupa. Beruntung, segera menyadari setelah move on jika hubungan tanpa ikatan pernikahan tidak memberikan keuntungan sedikit pun.
***
Allah tidak pernah kehabisan cara untuk menyatukan yang berjodoh dan memisahkan yang tidak berjodoh. Lantas, apa yang mesti dirisaukan? []