Oleh: Rana Setiawan, Redaktur Mi’raj Islamic News Agency (MINA). Email: rana@mirajnews.com.
IMAN adalah keyakinan hati, diucapkan lisan dan diaplikasikan perbuatan. Dan ihtisab adalah penilaian dan koreksi diri yang membawa pengharapan terhadap ridho Allah SWT.
Allah SWT. berfirman, “Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya …” (QS. Al-Kahfi [18]: 28).
Rasulullah SAW. bersabda, ”Telah merasakan nikmat iman, orang yang rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya dan Muhammad sebagai Rasulnya.” (HR. Muslim).
BACA JUGA: 8 Penyebab Lemahnya Iman
Nabi memberitahukan pula bahwa iman memiliki rasa nikmat maka buah keridhaan adalah mencicipi nikmatnya iman.
Buah Ihtisab adalah sabar, tabah dan mampu menahan diri, sehingga membawa pemiliknya bertindak sesuai dengan kebenaran.
Suatu malam yang gelap Abdullah bin Ummi Maktum –sahabat yang buta- keluar rumah. Hujan telah membuat padang pasir yang membentang ke masjid menjadi medan lumpur. Angin gurun begitu menusuk. Abdullah masih tertatih bersama tongkatnya yang senantiasa memandunya. Pagi itu, ia ingin mengumandangkan adzan subuh di masjid, menyeru manusia yang terlelap agar bangkit melaksanakan shalat berjamaah.
Di perjalanan, Abdullah terjatuh dan bajunya terkena lumpur. Ia memutuskan kembali ke rumah, mengganti pakaian dan melanjutkan perjalanan. Hal itu ia lakukan dengan ikhlas dan sabar. Pada perjalanan kedua, ia kembali terjatuh. Dan untuk kedua kalinya ia kembali ke rumah, mengganti pakaian dan berangkat ke masjid. Kali ini ia lebih berhati-hati.
Sebelum sampai ke masjid, ia tersandung dan hampir terjatuh lagi. Namun segera ada yang menolongnya. Ternyata dua tangan menopangnya dari belakang. Kemudian orang asing itu memapahnya ke gerbang masjid.
Tiba di gerbang, Abdullah mengajak orang tadi untuk ikut melakukan shalat berjamaah. Tapi ia menolak dan hendak pergi. Hal itu membuat Abdullah heran.
Saat langkah orang itu masih terdengar, Abdullah memanggilnya dan bertanya, “Siapa engkau? Mengapa tidak mau shalat bersamaku?”
BACA JUGA: Hisab Allah itu Cepat
“Abdullah, aku adalah syetan yang akan menggodamu. Akulah yang mendorongmu hingga terjatuh pada kali pertama. Aku berharap engkau mengurungkan niatmu untuk berjamaah di Masjid. Namun, ketika engkau kembali ke rumah mengganti pakaian dan melanjutkan perjalanan, Allah melihat keteguhan dan ketabahanmu. Maka Allah telah mengampuni dosa-dosamu. Kemudian aku kembali mendorongmu kali yang kedua, agar engkau berputus asa. Ternyata engkau masih tabah; kembali ke rumah, mengganti pakaian dan melanjutkan perjalanan.
“Saat itulah Allah mengampuni dosa-dosa keluargamu. Hal ini membuatku putus asa. Maka saat engkau akan terjatuh kali yang ke tiga, sungguh itu bukan ulahku. Maka, aku membantumu dan mengantarmu ke sini. Aku takut Allah mengampuni dosa-dosa penghuni desa ini karena ketabahanmu. Aku tidak ingin usahaku selama ini menjadi sia-sia karena shalat subuh yang engkau kerjakan,” kata orang itu kemudian pergi meninggalkan Abdullah.
Itulah buah iman dan ihtisab, semoga kita dapat menikmatinya seperti Abdullah bin Umi Maktum. Wallahu A’lam. []