PERLU kami tegaskan di sini, bahwa tidak ada kelaziman bahwa orang yang bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) pasti fanatik. Tidak ada sama sekali.
Kalau oknum, mungkin saja ada dan itu wajar yang hal ini bisa terjadi pada siapapun dan kelompok manapun. Bahkan jika kita jujur, yang tidak bermadzhabpun juga berpotensi untuk fanatik buta.
Bahkan mungkin potensinya jauh lebih besar dari yang bermadzhab dikarenakan adanya pemahaman bahwa pendapat yang rajih (kuat) menurut mereka seolah dimaknai sebagai “kebenaran” dan yang menyelisihinya sebagai kebatilan.
BACA JUGA: Mazhab Syafi’i Melarang Shalat di Belakang Imam Lain Madzhab?
Dalam sejarah, memang didapatkan beberapa fakta adanya fanatik di antara para pengikut madzhab. Namun, ini sedikit sekali jika dibandingkan dengan mereka yang bermadzhab tapi bisa hidup berdampingan, saling menghargai, saling menghormati, saling mencintai, serta bersinergi dalam kebaikan yang mereka sepakati.
Jika faktanya seperti ini, tentu sangat tidak adil jika kita menyudutkan mereka yang bermadzhab. Perilaku yang dilakukan oleh sebagian kecil penganut madzhab, tidak bisa dijadikan dasar untuk menghukumi semua penganut madzhab demikian.
Dalam kaidah disebutkan bahwa: “Hukum ditetapkan dengan sesuatu yang dominan”. Fanatik sendiri ada yang tercela ada yang tidak tercela. Jika sekedar menyakini kebenaran suatu pendapat dan mengamalkannya, tanpa diiringi dengan sikap keras dan merendahkan kepada pendapat yang lain, maka ini boleh saja.
Fanatik di sini lebih tepat untuk dimaknai sebagai sikap “berpegang teguh”. Adapun sikap fanatik yang didasari oleh keyakinan adanya kebenaran pada suatu pendapat tapi diiringi dengan sikap keras/kaku terhadap pengikut madzhab yang lain serta bergampangan dalam menyesatkan dan mentabdi’ (mengahlibid’ahkan) orang lain yang berbeda pendapat, maka ini yang terlarang.
Mungkin lebih tepatnya diistilahkan dengan “fanatik buta” yang merupakan salah satu ciri khas “hizbiyyah”.
Imam Ibnu Abidin Ad-Dimasyqi Al-Hanafi (w.1552 H) dalam kitab “Al-‘Uqud Ad-Durriyyah” (2/333) menyatakan:
قَالَ فَخْرُ الْإِسْلَامِ لَمَّا سُئِلَ عَنْ التَّعَصُّبِ قَالَ الصَّلَابَةُ فِي الْمَذْهَبِ وَاجِبَةٌ، وَالتَّعَصُّبُ لَا يَجُوزُ، وَالصَّلَابَةُ أَنْ يَعْمَلَ بِمَا هُوَ مَذْهَبُهُ وَيَرَاهُ حَقًّا وَصَوَابًا، وَالتَّعَصُّبُ السَّفَاهَةُ، وَالْجَفَاءُ فِي صَاحِبِ الْمَذْهَبِ الْآخَرِ وَمَا يَرْجِعُ إلَى نَقْصِهِ
“Tatkala Fakhrul Islam ditanya tentang sifat fanatik, maka beliau menjawab: Bahwa sikap berpegang teguh dengan madzhab merupakan kewajiban, adapun fanatik buta maka terlarang. Sikap berpegang teguh adalah seorang mengamalkan dan memandang kuat dan benar madzhabnya.
Adapun fanatik buta, adalah kebodohan dan sikap keras/kaku kepada pengikut dan kekurangan madzhab lain, maka ini tidak boleh.“
Para imam madzhab, yaitu Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal telah mencontohkan sikap saling menghormati dalam perbedaan pendapat serta bagaimana jauhnya mereka dari sikap fanatik buta.
BACA JUGA: Qunut Menurut Empat Imam Madzhab
Dan para ulama internal masing-masing madzhab pun juga demikian adanya. Mereka sangat biasa dengan perbedaan pendapat, namum mereka tetap dapat hidup damai dan saling menghormati.
Semua ini terdokumentasikan secara lengkap di kitab-kitab turats. Silahkan dirujuk bagi yang menginginkan.
Sudahlah, seandainya tuduhan fanatik madzhab memang benar adanya, tentu fanatik kepada para ulama madzhab lebih mending dari pada fanatik kepada para ustadz di zaman ini.
Karena mereka (imam yang empat) telah mencapai derajat mujtahid mutlak. Adapun para ustadz di zaman ini, jangankan mencapai derajat ijtihad, dihitung penuntut ilmu saja berat. Alhamdulillah. []
Facebook: Abdullah Al-Jirani