MEMPELAJARI atau menghafal Al-Quran itu kompleks, Saudara. Integrated. Semuanya terlibat dan saling berkelindan. Tidak seperti ilmu yang lain, Al-Quran hanya masuk pada jiwa yang sepenuhnya bersih. Contohnya?
Belajar Quran tidak bisa dilakukan di atas tanah—sorry to say—riba. Maksudnya, tempat dimana banyak terlibat perputaran uang yang terus berbunga dan berbunga.
Saya pernah punya cerita satu. Kakak saya punya teman, hidupnya dari satu pesantren ke pesantren lain. Bapaknya pengen, anaknya itu jadi penghafal Quran.
BACA JUGA: Merasa Seperti …
Tapi sudah bertahun-tahun, si anak tiada pernah bisa menghafal Quran. Selidik punya selidik, ternyata si bapak ini tukang minjem-minjemin duit sama orang dan musti dikembaliin dengan jumlah lebih, alias rentenir.
Jadi, anak belajar Quran, dimulai juga dengan sang bapak yang musti jelas sumber rezekinya untuk menghidupi keluarganya.
Saat anak belajar Quran, kita orangtua juga dituntut untuk meletakkan ihtiram kepada guru-guru anak-anak kita.
Sekali lagi saja lepas hormat pada guru-guru anak kita, seterusnya pula anak-anak hanya lewat saja menghafal Quran, seperti minum air yang hanya untuk menghilangkan haus belaka, tanpa menjadi energi untuk tubuh.
Rasa hormat—zaman now—juga ada di setiap platform. Bagaimana Anda bisa merasa bebas membicarakan kekurangan guru-guru anak-anakmu di medsos (sekolahnya ginilah, gurunya gitulah, para ortu, dsb), sementara anakmu sedang duduk menghadiri majelis ilmunya?
Guru anakmu itu bisa jadi tidak tahu, tapi ada para malaikat yang mencatat omonganmu yang demikian bebas tanpa filter, dan bisa jadi, makhluk-makhluk suci itu tidak ridho atas perbuatanmu. Kompleks kan?
Ini kisah kedua. Suatu kali seorang syeikh tengah menerangkan tafsir di kelas. Namanya juga tafsir, dibedahlah beberapa perangkat lainnya. Asbabun nuzul. Sirah. Dan lainnya. Kelamaanlah kemudian tafsir tersebut.
Karenanya, penghuni kelas meminta ketua kelas untuk memberitahu sang syeikh untuk meringkas pelajarannya.
Saat dibilangin oleh murid-muridnya, sang syeikh hanya diam, dan ada binar luka di matanya. “Sejak saat itu,” getir salah satu murid, “tidak ada satupun ilmu yang diterangkan oleh guru kami tersebut, masuk dalam diri kami.” Itu namanya ihtiram, Saudara.
Di salah satu grup WA, pernah saya di-tag oleh teman untuk mengomentari seorang guru kami di perguruan tinggi karena menurut mereka, postingan guru kami tersebut banyak berseberangan dengan pilihan ideologi mereka.
Karena di-tag, saya berkomentar, “Buat saya, ilmu yang diberikannya kepada saya terus hidup dalam diri saya dan itu salah satu yang membuat saya bisa seperti sekarang. Jika hanya dibandingkan dengan satu pilihannya tersebut, saya memilih untuk terus mengingat kebaikannya yang sangat banyak.”
BACA JUGA: Ujian Susulan, 500 Perak, dan Nasi Basi
Ya, menurut saya, in our age, as we are consenting adults, kita sudah tahu risiko semua pilihan hidup kita.
Bukannya saya tidak punya sentimentil agama misalnya ya. Guru adalah guru. Dari mereka, salah satu pintu jalan hidup kita terbuka.
Oh ya, saya (kita) punya satu referensi soal orang yang belajar Quran tapi kemudian malah jadi rusak. Sejauh ini saya hanya baru tahu soal satu nama saja yaitu Abdul Ghaffar. Atau nama asalnya Snouck Hurgronje. []