ADA beberapa kelompok yang tidak puas dengan kepemimpinan Khalifah Utsman bin Affan. Mereka ini datang dati Mesir, Kufah, dan Bashrah.
Ketiga kelompok ini berlainan kehendak dan tujuannya. Kelompok dari Bashrah hendak menurunkan Utsman dan menggantikannya dengan Thalhah, kelompok dari Kufah hendak menggantinya dengan Az-Zubair, dan kelompok dari Mesir hendak menggantinya dengan Ali bin Abi Thalib.
Yang datang dari Basrah datang ke Madinah lalu ke rumah Thalhah, yang datang dari Kufah ke rumah Az-Zubair, dan yang dari Mesir ke rumah Ali.
Ketiga kelompok itu menawarkan khalifah kepada diri mereka masing-masing. Namun, ketiganya menolak dengan sikap yang hormat.
Mereka bertiga tidak hendak meruntuhkan khalifah, tapi seide hendak memperbaiki kebijakan-kebijakan yang dipandang kurang tepat. Orang Mesir meminta supaya wali di Mesir yang diangkat oleh Utsman diturunkan dari jabatannya, diganti dengan Muhammad bin Abu Bakar.
BACA JUGA: Mushaf di Tangan Ustman bin Affan
Permintaan itu telah dikabulkan dan mereka disuruh pulang kembali ke Mesir. Tetapi setelah sampai pada suatu tempat, jarak tiga hari perjalanan dari Madinah, kelihatan dari jauh seorang budak mengendarai unta. Orang itu kemudian dihentikan lajunya dan ditanya hendak ke mana dan siapa yang memberi perintah.
Budak itu menjawab bahwa dia budak Amirul Mukminin Utsman bin Affan, disuruh mengantarkan sepucuk surat ke Mesir. Pasukan Muhammad bin Abu Bakar menjadi kaget, kantong surat itu kemudian dirampas.
Rupanya surat itu dari Utsman kepada Abdullah bin Abu Sarah, wali di Mesir. Sampul itu terus dibuka di hadapan Muhajirin dan Ansar, dan isinya adalah:
Bila sampai Muhammad bin Abu Bakar di Mesir, bersama si fulan dan si fulan, hendaklah terus dibunuh, dan isi surat yang mereka bawa hendaklah dibatalkan, dan hendaklah terus memegang jabatan itu sehingga sampai perintahku yang sah.
Melihat isi surat yang sangat berbahaya itu, semua gentar. Dan, semua anggota kelompok itu memutuskan bahwa mereka harus kembali ke Madinah.
Sampai di Madinah, mereka minta bertemu berhadap-hadapan dengan Ali, Thalhah, Az-Zubair, dan Sa’ad. Di hadapan mereka itulah surat itu dibuka kembali dan diceritakan kisah penangkapan budak itu sejelas-jelasnya.
Demi setelah tersiar kabar ini kepada orang banyak, semuanya mencaci dan memaki Utsman. Utsman dituduh sebagai khalifah pengecut.
Sahabt-sahabat Nabi yang utama melihat huru-hara ini, karena tak bisa didamaikan lagi, kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan bingung.
Rumah Utsman dikepung orang dari segala penjuru. Bahkan, air tidak boleh dimasukkan ke rumahnya lagi dan dilarang keluar.
Waktu itulah dengan sedih terdengar perkataan Utsman, “Mengapa kamu menahan air dari orang yang telah pernah membeli sumur?”
SUrat itu terus mereka bawa kepada Utsman, seraya mereka berkata, “Engkau telah menulis surat begini terhadap kami?”
Utsman menjawab, “Salah satu di antara dua boleh kamu pilih, pertama kalau tak percaya, kami kirim dua utusan utnuk menyelidiki, kedua kamu terima sumpah saya di hadapan Allah, bahwa sungguh-sungguh bukan saya yang menulis surat itu”
Dengan sumpah besar Utsman telah menyatakan bahwa surat itu bukanlah dia yang menulis, walaupun disana terdapat cap stempel cincinnya sendiri.
BACA JUGA: Ustman bin Affan Punya Hotel Bintang Lima di Saudi
Menurut Prof Hamka (Buya Hamka) dalam Sejarah Umat Islam, pengakuan Utsman itu harus dipercaya. Sebab, selama ini memang Utsman terkenal sebagai orang yang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Yang selalu menjadi perbincangan dalam sejarah, perkara ini adalah juru surat Utsman sendiri yaitu Marwan bin Al Hakam, tetapi bukti pun tidak jelas juga. Sehingga, sampai kiamat riwayat itu akan tetap begitu keadaannya, tidak jelas.
Cuma yang nyata di sana, memang Utsman kurang memperhatikan laci mejanya sendiri. Sehingga, laci itu bisa dibuka orang dan cincinnya bisa dicapkan orang tanpa sepengetahuannya. Dan, dia terpaksa menanggung dampak dari kejadian ini.
Sementara, orang semakin panas. Sebagian besar meminta supaya dia mengundurkan diri sebagai khalifah. Tetapi Utsman menolak.
Dia tak mau menanggalkan jabatan yang diletakkan Allah ke atas pundaknya dan disetujui oleh seluruh kaum Muslimin dengan ba’iat, sampai nyawa terpisah dari badannya, jabatan itu tak akan diserahkan ke orang lain.
Desakan dan kepungan bertambah hebat. Segala nasihat yang diberikan Utsman dari atas rumahnya, kepada orang-orang yang berkumpul dengan hati panas itu, tidak mempan. Apalagi setelah terdengar berita dan bisik desas-desus bahwa ada beberapa tentara dari Syam akan mengepung Madinah dan melepaskan Utsman dari kepungan itu.
Sahabat-sahabat Nabi yang utama yaitu Ali, Thalhah, Az-Zubair, menyuruh anak-anak mereka masing-masing pergi menjaga khalifah di dalam rumahnya sampai menunggu huru-hara ini selesai. Jangan sampai terjadi bahaya yang lebih besar.
Tetapi para pemberontak itu sudah bertambah kalap, rumah di samping rumah Utsman kepunyaan tetangga, telah mereka naiki. Pintu rumah mereka bakar, mereka masuk ke dalam berduyun-duyun dengan sorak-sorainya.
Anak-anak orang besar Madinah itu tersingkir ke tepi. Seorang pemberontak bernama Al Ghafiqi telah menikam Utsman, orang tua yang telah ikut menegakkan Islam sejak awal dengan pisaunya.
Jari istri Utsman yang bernama Na’ilah, yang hendak membela suaminya itu, mereka potong. Setelah itu mereka tarik jenggot Utsman dan mereka membunuhnya. Sehingga, wafatlah Utsman, sedangkan ALquran bernama Mushaf Ustman itu masih tergenggam di dalam tangannya.
Seolah, malaikat maut telah siap menjemput. Di ujung umurnya, para pemberontak telah mengepung rumah Utsman bin Affan, sehari sebelumnya ia telah berniat puasa.
Namun, apadaya saat ingin berbuka puasa, dan mohon diberikan air, para pemberontak tersebut tak memberikannya barang setetes.
Pemberontak malah berkata, “Di belakang rumahmu ada galian sumur!” Padahal galian tersebut merupakan tempat barang-barang berbau busuk. Utsman pun tidak berbuka puasa pada hari itu.
BACA JUGA: 3 Resep Jadi Orang yang Dicintai dari Ustman bin Affan
Waktu sahur pun tiba, beberapa orang tetangganya datang berkunjung. Nailah binti Farafishah, sang istri Utsman yang setia mendapatkan secangkir air tawar dari tetangganya tersebut untuk diberikan kepada suami tercintanya.
Sang istri pun bergumam, “Ini air tawar yang segar untukmu.” Utsman memandang ke luar rumah, ternyata sudah terbit fajar. Ia berkata, ” Hari ini aku puasa lagi.” Nailah bertanya, ”Dari mana? (menanyakan perihal sahurnya) Aku tak melihat seorang pun mendatangimu dengan membawa makanan atau minuman.”
Utsman pun menjawab istrinya, “Aku melihat Rasulullah s.a.w memerlihatkan dirinya kepadaku dari atap rumah ini. Beliau membawa bejana berisi air. Beliau bersabda, ‘Minumlah, wahai Utsman!”
Aku pun meminumnya hingga hilang dahagaku. Kemudian beliau bersabda lagi, ‘Minumlah lagi!’ Aku minum lagi hingga perutku kenyang.
Kemudian berliau s.a.w bersabda kepadaku, ‘Para pemberontak itu pagi ini akan menyerangmu. Jika kau membunuh mereka, maka kau akan menggapai kesuksesan, tapi jika kau membiarkan mereka, maka kau akan berbuka puasa bersama kami.’” Para pemberontak pun datang pada pagi hari menyerang Utsman dan mereka pun membunuhnya.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 35 Hijriah, yakni setelah 11 tahun lamanya Utsman memerintah.