TIBA-tiba saja saya bertemu dengan seorang lelaki. Usianya mungkin sekitar 50 tahun. Kaya. Sombong.
Lho, kok baru bertemu saya udah bilang dia sombong?
Pertama, dia bilang soal anaknya yang sehat dan bersih. “Saya kasih dia herbal terus-menerus. Efeknya, makannya jadi bagus. So, dia sehat,” ujar dia.
BACA JUGA:Â Ain, dan Ayat-ayat Ruqyah
Saya dan beberapa orang lain diam aja.
Dia ini tau ga yah, ga semua orang bisa nyediain herbal tiap hari. Ada yang cuma mampu ngasih micin atau mie instan. That’s life. Kamu, banyak duit, bukan berarti mulia. Miskin, bukan berarti sedang dihinakan oleh Allah SWT.
Kedua, dia ngomongin Syariat. Kata dia, kenapa orang Islam tuh cenderung ga banyak bahas poligami. Padahal itu syariat, tandasnya. Berislam itu, ujarnya lagi, jangan kayak prasmanan. Maen ambil yang dimauin aja.
Jiwa saya berontak. Saya menyela, “Pak, ada kaidah fiqih yang menyebutkan ‘kalau ga bisa dilakuin semuanya, jangan ditinggalkan semuanya.'”
Digituin, dia mingkem.
Ketiga, eh dia bersuara lagi. Masih soal poligami juga. Sekarang sambil nanya-nanya perempuan yang bisa dijadikan calonnya.
BACA JUGA:Â Kamu Mah Gondrong-gondrong …
I think, he is sick. Kalau dia niat mau poligami, seharusnya orang pertama yang dia ajak bicara itu istrinya. Bukan ke semua orang, apalagi ke saya yang cuma selewat doang.
Saya jadi berpikir, dia ini ga bahagia di pernikahannya. Ga taulah. Tapi mungkin demikianlah syahwat memperjalankan lelaki, sebelum sampai pada kekuasaan. []