PURWAKARTA dikenal sebagai gudangnya ulama dan pesantren. Banyak santri dari segala penjuru datang ke Purwakarta untuk menimba ilmu agama, khususnya agama Islam.
Sebutan Purwakarta sebagai Kota Santri, tak bisa bisa dilepaskan dari peran ulama terpandang, berpengaruh dan berkharisma di Kabupaten Purwakarta ini. Ulama itu adalah KH Tubagus Ahmad Bakri bin Tubagus Sayidah. Beliau dikenal sebutan Ajengan Sempur atau yang popular dengan nama Mama Sempur.
Mama Sempur yang tidak diketahui secara pasti kapan dilahirkan, wafat pada 1 Desember 1975 atau 27 Dzuqaidah 1395 H. Kalangan Nahdhiyyin sangat menghormati jasa Mama Sempur. Di bulan Dzulqoidah setiap tahunnya, makam Mama Sempur selalu ramai dikunjungi para peziarah.
BACA JUGA: Manfaatkan agar Hidup Tak Merugi, Ini 8 Nasihat Para Ulama tentang Waktu
Mereka datang dari Jakarta, Jawa Barat, seperti Tasik, Bandung, Subang, Karawang, Cikampek, Cirebon, Indramayu, Cianjur, hingga luar Pulau Jawa. Makamnya terletak di Sempur-Plered, 14 km dari kota Purwakarta, tepatnya tak jauh dari Pondok Pesantren Salafiah, Desa Sempur, Kecamatan Plered.
Lalu, siapakah sosok Mama Sempur? Beliau adalah kiai besar masyarakat Sunda yang punya banyak santri. Sejumlah pesantren yang berdiri di daerah tersebut, adalah berkat jasanya. Di kalangan masyarakat Jawa Barat, Mama Sempur juga dikenal sebagai guru tarekat tertinggi dalam ajaran tarekat Qadiriyah-Naqsabandiyah.
Istilah “mama” berasal dari kata “rama”, artinya bapak. Sepengertian dengan “romo” di Jawa. Ayahnya, Tubagus Sayidah, adalah pemimpin Pesantren Salafiyah Sempur.
Di samping sebagai ulama, ayahnya juga dikenal sebagai pejuang yang gigih melawan pemerintah kolonial. Layaknya keturunan kiai, pendidikan awal Mama Sempur diperolehnya dari ayahnya. Melalui ayahnya, ia mengenal cara membaca al-Qur’an dan ilmu dasar keislaman.
Belajar ke Mekkah
Setelah merasa cukup mendidiknya, ayahnya kemudian mengirim Mama ke Mekkah. Di sana, ia belajar tafsir kepada Sayyid Ahmad Dahlan, salah seorang ulama besar yang mengajarkan Islam Madzhab Syafi’i. Di sana, ia juga belajar pada ulama Nusantara yang menetap di Mekah, yaitu Syekh Nawawi Banten dan Syekh Mahfudz Termas.
Khusus kepada Syekh Nawawi Banten, Mama belajar fikih. Mama juga pernah belajar dengan Syekh al Habib Utsman bin Abdulloh bin Aqil bin Yahya Mufti , dan Syaikh Kholil bin Abdul Lathief, KH. Soleh Darat Semarang, dan guru-gurunya yang lain.
BACA JUGA: Berdasarkan Pendapat Ulama, Inilah Nama Lain Al Fatihah
Setelah pulang ke tanah air, Mama mendirikan sebuah pesantren di Darangdang, Desa Sempur, Kecamatan Plered, Kabupaten Purwakarta. Pesantren ini dinilai sebagai pesantren tertua di daerah tersebut. Selanjutnya ia mengelola pondok pesantren dan menjadi guru penyebar Tarekat Naqsabandiyah di daerah tersebut.
Kitab Karangannya
Semasa hidupnya, Mama Sempur mengarang puluhan kitab. Di antara karyanya yang paling populer adalah Cempaka Dilaga. Ditulis dalam huruf Arab Pegon dan menggunakan bahasa Sunda dan dicetak oleh Majelis Ta’lim al Idrus, Jakarta. Kitab ini ditulis pada 8 Dzulhijah 1382.
Sedangkan karyanya yang lain adalah Risalah al Muslihat fi Bayani fardhi al Ma’kulat wa al Masnunat wa al Makruhat wa al Mahrumat. Kitab ini merupakan nukilan dari karya al Bazili, Risalat al Ashab al Quwwah min Ihsan al Qudrah.
Pemikiran Mama Sempur dapat ditemukan dalam kitab Cempaka Dilaga. Ia menjelaskan, bahwa seorang muslim hendaknya patuh dan mentaati pemerintah, bahkan terhadap pemerintah lalim sekalipun, selama pemerintah tidak memerintahkan rakyatnya untuk menyalahi perintah Allah atau melarang untuk berbakti kepada Allah swt.
Seorang muslim hendaknya berpegang pada prinsip-prinsip ushul fiqh, ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak dapat dihindari misalnya, maka orang tersebut hendaknya memilih perbuatan yang paling sedikit mudharatnya (akhaf adh dharuryn).
Ia menganjurkan agar seseorang mendahulukan untuk menolak mafsadat daripada melakukan pekerjaan yang mendatangkan manfaat. Mama Sempur dalam ceramah-ceramahnya juga mengajarkan jamaahnya agar berbuat baik terhadap tetangga hingga etika makan.
Amalan Mama Sempur
Ingin tahu amalan Mama Sempur setiap harinya? Beliau setiap pukul empat pagi, sudah bersila di masjid seraya berzikir. Kemudian mendirikan shalat subuh berjamaah. Selepas wiridan dan jamaah bubar, ia tetap bersila. Waktu dhuha, ia mendirikan shalat dhuha.
BACA JUGA: Tahukah, Siapa Ulama yang Pertama Menulis Kitab Tajwid?
Sementara Mama tak pernah membawa makanan dan minuman. Tak ada yang tahu ia puasa atau tidak. Mama Sempur kemudian mengajar ngaji santri sampai pukul 11.00. Selepas itu, dilanjut mengajar ngaji kiai-kiai sekitar kampung. Terus shalat Dhuhur. Kemudian ia pulang ke rumah, istirahat.
Tapi beliau tak pernah bisa istirahat sepenuhnya, karena sudah ditunggu para tamu. Suatu ketika, anak bungsu Mama Sempur bernama Mama Dudus, pernah kesal kepada para tamu, ‘Kenapa Mama diikuti terus? Dia sudah sebulan tidak tidur’.
Selepas shalat Ashar, Mama Sempur mengaji lagi hingga menjelang maghrib. Selepas maghrib, istirahat. Kemudian selepas Isya, mengajar sampai pukul 23.00. Kemudian pukul 04.00, ia sudah bersila lagi di masjid. []