WUDHU merupakan serangkaian ibadah yang tidak dapat dipisahkan dari shalat. Seorang hamba dapat batal karena beberapa perkara. Hal-hal yang bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu (pembatal-pembatal wudhu).
Wudhu yang telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya untuk berwudhu kembali.
BACA JUGA: Wudhu, Inilah 5 Hal yang Dimakruhkan
Nawaqidhul wudhu ini ada yang disepakati oleh ulama karena adanya sandaran dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut.
Ada juga yang diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.
Kaidah penting yang perlu kita garis bawahi, bahwa pembatalan wudhu itu sifatnya tauqifiyah, artinya harus berdasarkan dalil. Jika tidak terdapat dalil, maka kita tidak bisa menyebutnya sebagai pembatalan wudhu.
Berkaitan dengan menyusui, ibu mengeluarkan ASI. Yang menjadi pertanyaan, apakah keluarnya ASI bisa membatalkan wudhu?
Kaum muslimin sepakat, ASI termasuk benda suci. Karena manusia tidak boleh secara sengaja memasukkan benda najis ke dalam tubuhnya, apalagi dikonsumsi. Sementara ASI diberikan kepada bayi sebagai konsumsi utamanya.
Kaitannya dengan ini, ulama sepakat bahwa mengeluarkan benda suci, selain dari kemaluan depan dan belakang, tidak membatalkan wudhu. Seperti meludah, keluar ingus dari hidung, atau air mata ketika menangis. Termasuk dalam hal ini adalah mengeluarkan ASI, baik ketika menyusui maupun di luar menyusui.
BACA JUGA: Benarkah Kaget Bisa Membatalkan Wudhu?
Dalam Ensiklopedi Fikih dinyatakan:
الخارج من غير السبيلين إذا لم يكن نجسا لا يعتبر حدثا باتفاق الفقهاء. واختلفوا فيما إذا كان نجسا
“Benda yang keluar dari selain dua kemaluan depan dan belakang, jika bukan benda najis, tidak dianggap sebagai hadats (pembatal wudhu) dengan sepakat ulama. Hanya saja mereka berbeda pendapat, apabila benda yang keluar itu adalah benda najis.” (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 17/113). []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH