TANYA: Bagaimana hukumnya jika kita mengakikahi diri sendiri?
Jawab:
Ustadz Ahmad Anshori, Lc. di laman Konsultasi Syariah menjelaskan, bahwa pada asalnya yang bertanggung jawab menunaikan akikah anak adalah ayahnya. Ibu, saudara/i kandung, atau paman dan kerabat lainnya tidak dibebani oleh syariat untuk penunaian akikah anak.
Tanggungan akikah pada ayah tidaklah gugur meskipun si anak sudah baligh. Jika saat balita dulu ayah belum mampu menunaikan akikah anak maka ayah tetap dianjurkan menunaikannya kapanpun ia mampu.
Kemudian terkait bagaimana jika ayah tidak juga mampu, apakah boleh si anak mengakikahi dirinya sendiri?
BACA JUGA: Setelah Dewasa Baru Akikah, Bagaimana?
Mengingat motivasi Rasulullah dalam perintah akikah sangat kuat. Dari Sahabat Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.” (HR. Ahmad 20722, at-Turmudzi 1605, dan dinilai shahih oleh al-Albani)
Ada perbedaan pendapat ulama dalam hal ini. Namun pendapat yang kuat dalam hal ini -wallahu a’lam- anak boleh mengakikahi dirinya sendiri. Karena status anak yang belum diakikahi adalah tergadai sebagaimana yang tersebut dalam hadis. Dan setiap orang berhak melepaskan gadaiannya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan dalam kitab Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud,
الفصل التاسع عشر : حكم من لم يعق عنه أبواه هل يعق عن نفسه إذا بلغ ، قال الخلال : باب ما يستحب لمن لم يعق عنه صغيرا أن يعق عن نفسه كبيرا
“Bab 19: Hukum mengakikahi diri sendiri setelah baligh karena belum mampu menunaikan akikahnya.”
Al-Kholal berkata, “Bab: Bagi yang belum diakikahi saat kecil, disunahkan menunaikan akikahnya sendiri setelah dewasa.”
Kemudian beliau menyebutkan sejumlah riwayat dari para ulama salaf yang mendukung kesimpulan tersebut.
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menerangkan jawaban persoalan ini,
والقول الأول أظهر ، وهو أنه يستحب أن يعق عن نفسه ؛ لأن العقيقة سنة مؤكدة ، وقد تركها والده فشرع له أن يقوم بها إذا استطاع ؛ ذلك لعموم الأحاديث ومنها : قوله صلى الله عليه وسلم : ( كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى ) أخرجه الإمام أحمد ، وأصحاب السنن عن سمرة بن جندب رضي الله عنه بإسناد صحيح ، ومنها : حديث أم كرز الكعبية عن النبي صلى الله عليه وسلم: أنه أمر أن يُعق عن الغلام بشاتين وعن الأنثى شاة أخرجه الخمسة ، وخرج الترمذي وصحح مثله عن عائشة , وهذا لم يوجه إلى الأب فيعم الولد والأم وغيرهما من أقارب المولود
“Pendapat pertama lebih kuat, yaitu pendapat yang menyatakan seorang disunahkan mengakikahi dirinya sendiri. Karena akikah adalah ibadah yang hukumnya sunah muakkadah, yang belum mampu ditunaikan oleh ayahnya. Sehingga anak disunnahkan menunaikannya untuk dirinya jika ia mampu. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
كل غلام مرتهن بعقيقته تذبح عنه يوم سابعه ويحلق ويسمى
“Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya. Disembelih pada hari ketujuh, dicukur gundul rambutnya, dan diberi nama.”
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ash-Habus Sunan (empat kitab sunan: Sunan Abu Daud, Sunan Tirmidzi, Sunan Nasa-i, Sunan Ibnu Majah, pent).
BACA JUGA: Bolehkah Aqiqah dengan Sapi?
Hadis lainnya yang mendukung kesimpulan ini, hadis dari Ummu Karzi Al-Ka’biyah, dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Bahwa beliau memerintahkan menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki. Dan seekor kambing untuk anak perempuan.”
Diriwayatkan oleh Al-Khomsah (lima perowi hadis: Ahmad, Abu Dawud, Nasa-i, dan Tirmidzi).
Hadis yang semakna riwayat Tirmidzi yang beliau shahihkan, dari Aisyah. Di hadis ini tanggung jawab tidak dikhususkan ditujukan kepada ayah saja. Sehingga berlaku umum, bisa ditunaikan anak itu sendiri, ibu, atau kerabat anak lainnya. (Majmu’ Fatawa Syekh Ibnu Baz (26/266) []
SUMBER: KONSULTASI SYARIAH