Oleh: Ustaz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.
MENEPATI janji merupakan akhlak terpuji yang terdepan. Maka tidak heran jika para rasul yang merupakan panutan umat dan penyampai risalah Allah SWT kepada manusia, menghiasi diri mereka dengan akhlak yang mulia ini. Inilah Ibrahim as, bapak para nabi dan imam ahlut tauhid. Allah SWT telah menyifatinya sebagai orang yang menepati janji.
Allah SWT berfirman, “Dan Ibrahim yang selalu menyempurnakan janji.” (QS. An-Najm: 37)
Maksudnya bahwa Nabi Ibrahim as telah melaksanakan seluruh apa yang Allah SWT ujikan dan perintahkan kepadanya dari syariat, pokok-pokok agama, serta cabang-cabangnya.
BACA JUGA: Janji Allah kepada Nabi Ibrahim
Dan Allah SWT berfirman tentang Nabi Ismail ‘as, “Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya” (QS. Maryam: 54)
Yakni tidaklah ia menjanjikan sesuatu kecuali dia tepati. Hal ini mencakup janji yang ia ikrarkan kepada Allah SWT maupun kepada manusia. Oleh karena itu, tatkala ia berjanji atas dirinya untuk sabar disembelih oleh bapaknya -karena perintah Allah SWT- ia pun menepatinya dengan menyerahkan dirinya kepada perintah Allah SWT. (Taisir Al-Karimir Rahman, hal. 822 dan 496)
Adapun Nabi Muhammad SAW memperoleh bagian yang besar dalam permasalahan ini. Sebelum diutus oleh Allah, beliau SAW telah dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya. Maka tatkala beliau SAW diangkat menjadi rasul, tidaklah perangai yang mulia ini kecuali semakin sempurna pada dirinya. Sehingga orang-orang kafir pun mengaguminya, terlebih mereka yang mengikuti dan beriman kepadanya.
Nabi SAW pada tahun keenam Hijriah berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah beserta para shahabatnya. Waktu itu Makkah masih dikuasai musyrikin Quraisy. Ketika sampai di Al-Hudaibiyah, beliau SAW dan kaum muslimin dihadang oleh kaum musyrikin. Terjadilah di sana perundingan antara Rasulullah SAW dan kaum musyrikin.
Disepakatilah butir-butir perjanjian yang di antaranya adalah gencatan senjata selama sepuluh tahun, tidak boleh saling menyerang, bahwa kaum muslimin tidak boleh umrah tahun ini tetapi tahun depan -di mana ini dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya-, dan kalau ada orang Mekah masuk Islam lantas pergi ke Madinah, maka dari pihak muslimin harus memulangkannya ke Mekah.
BACA JUGA: Perjanjian Umar bin Khattab di Yerusalem
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian tersebut, anak Suhail -juru runding orang Quraisy- masuk Islam dan ingin ikut bersama shahabat Nabi SAW ke Madinah. Suhail pun mengatakan kepada Nabi SAW bahwa jika anaknya tidak dipulangkan kembali, dia tidak akan menandatangani kesepakatan. Rasulullah SAW akhirnya menandatangani perjanjian tersebut dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan muslimin harus membatalkan umrahnya.
Namun di balik peristiwa itu justru kebaikan bagi kaum muslimin, di mana dakwah tersebar dan ada nafas untuk menyusun kembali kekuatan. Namun belum lama perjanjian itu berjalan, orang-orang kafirlah yang justru mengkhianatinya.
Akibat pengkhianatan tersebut, mereka harus menghadapi pasukan kaum muslimin pada peristiwa pembukaan kota Mekah (Fathu Makkah) sehingga mereka bertekuk lutut dan menyerah kepada kaum muslimin. Dengan demikian, jatuhlah markas komando musyrikin ke tangan kaum muslimin. Manusia pun masuk Islam dengan berbondong-bondong. Demikianlah di antara buah menepati janji: datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah SWT. (Zadul Ma’ad, 3/262) []
SUMBER: PENGUSAHA MUSLIM