TIDAK ada kata lain selain “tinggalkan”. Tinggalkan hal-hal yang dapat mencelakai diri -baik secara duniawi maupun ukhrowi- yang tidak ada lagi jalan lain untuk menghindarinya selain dengan meninggalkannya.
Allah Ta’ala memerintahkan agar kita meninggalkan kesyirikan sebagaimana firman-Nya,
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. an-Nisa’: 48)
BACA JUGA: Ada yang Mualaf sampai Berhijab, Ini 5 DJ yang Putuskan Hijrah
Namun, apabila kita tinggal di tempat sarang praktik kesyirikan, setiap orang-orang yang hidup di sekitar kita sulit untuk meninggalkan penyakit batin yang paling akut itu. Dakwah menyeru kepada tauhid dan sunnah pun diabaikan. Tidak ada obat memang, selain doa untuk kebaikan mereka. Maka, tinggalkanlah tempat itu, berhijrahlah ke tempat yang lebih baik.
Allah Ta’ala mewajibkan kita mengikuti jalan yang ditunjukkan oleh utusan-Nya Rasulullah SAW, khususnya dalam perkara ukhrowi sebagaimana firman-Nya,
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya dia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS an-Nisa’: 80)
Ibadah tidak diterima apabila tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW sebagaimana beliau bersabda, “Barangsiapa membuat perkara baru di dalam urusan kami (agama) ini, apa-apa yang bukan padanya, maka itu tertolak.” (HR. Bukhâri no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Ketika kita hidup di tengah-tengah manusia yang mengangkangi ketentuan sunnah yang jelas-jelas telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW, kemudian telah datang kepada mereka seruan untuk kembali kepada kemurnian ajaran beliau, hendaklah bersegera tinggalkan tempat itu, berhijrahlah ke tempat yang lebih baik sebagaimana perintah hijrah dalam al-Qur’an,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Baqarah: 218)
Allah Ta’ala telah menerangkan secara gamblang kepada hamba-Nya, apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan. Rasulullah SAW pun telah mengurai secara rinci halal-haramnya segala perkara duniawi-ukhrowi sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya yang halal itu telah jelas, dan yang haram pun telah jelas pula. Sedangkan di antaranya ada perkara syubhat (samar-samar) yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)-Nya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Ketika kita saat ini berada di tengah-tengah umat yang kental dan familiar dengan kemaksiatan kepada Sang Pencipta, kemudian mereka pun sejatinya mengetahui bahwa apa yang sedang mereka asyikkan itu adalah larangan, maka bergegaslah tinggalkan tempat itu, berhijrah ke tempat yang lebih baik.
Jika kita pertahankan hidup di tempat yang demikian, dikhawatirkan perlahan tapi pasti kita akan mengikuti jejak mereka -waliyadzu billah-. Karena setiap harinya kita berinteraksi dengan mereka, mau tak mau mereka adalah manusia yang kita mesti bermuamalah dengannya.
Oleh sebab itu, berhijrahlah sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,
” … Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika lingkungan tidak lagi ramah terhadap perintah Allah Ta’ala, bahkan malah cenderung mengakomodir larangan-Nya, hijrah adalah satu-satunya jalan terbaik untuk ditempuh seorang hamba yang lemah dan tidak berdaya untuk menepis segala pengaruh buruk yang bisa menimpa diri dan keluarganya.
Oleh karena itu, terima atau tidak mereka -orang-orang yang hidup di sekeliling kita- adalah teman/saudara kita yang setiap hari bertatap muka dan saling bertegur sapa dengan kita. Sedangkan dalam timbangan syariat bahwa agama seseorang itu dapat dinilai dari sisi agama temannya. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW,
“Agama seseorang itu sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Akan tetapi, niat dalam hati perlu diperbaharui, kepada siapa tujuan hijrah kita. Karena setiap amal tergantung kepada niat orang yang melakukannya dan seseorang akan dinilai berdasarkan bagaimana dia meletakkan niat di dalam hatinya, apakah dia ikhlas memurnikan tujuan hijrah hanya kepada Allah Ta’ala ataukah kepada selainnya. Ini merupakan perkara besar karena hijrah merupakan ibadah, sedangkan ibadah adalah terlarang apabila tidak diikhlaskan hanya kepada Allah Ta’ala semata.
Perhatikanlah hadits berikut. Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
Sumber ekonomi merupakan hal yang paling dikhawatirkan oleh seorang hamba apabila hendak berhijrah meninggalkan lingkungan yang tidak lagi bersahabat dengan syariat Allah. Padahal berhijrah dengan niat lillahi Ta’ala akan membuka pintu rezeki sebagaimana firman AllahTa’ala,
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang banyak.” (QS. An-Nisaa’: 100)
Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapati dua hal : Pertama (مُرَاغَمًا ), Kedua (سَعَةً).
BACA JUGA: Cerita Zahra Jasmine, Mantan DJ yang Kini Mantap Hijrah
Imam Ar-Razi rahimahullah menjelaskan makna “مُرَاغَمًا” dalam ayat di atas yaitu kebaikan dan kenikmatan di negeri/tempat yang baru yang menjadi sebab kehinaan dan kekecewaan para musuh yang berada dinegeri asalnya. Karena ketika orang di negeri asal mendengar berita bahwa kenikmatan da kebaikan yang ia dapatkan di negeri asing tersebut mereka akan merasa mala atas buruknya muamalah yang mereka berikan. Maka dengan demikian mereka merasa hina (1).
Sedangkan makna “سَعَةً” menurut Qatadah rahimahullah adalah “keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari kemiskinan kepada banyaknya kekayaan” (2). Maka kekhawatiran akan sulitnya mencari sumber ekonomi bukanlah alasan seorang mukmin apabila waktu berhijrah telah tiba. Karena justru dengan berhijrah pintu rezeki terbuka dengan luasnya, insyaa Allah Taala. []
SUMBER: MUSLIM