TANYA: Bolehkah berwakaf dengan uang atau mewakafkan sejumlah uang? Bagaimana pandangan fikih terkait hal ini?
Jawab:
Di kalangan ulama empat mazhab, terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf uang.
1 Hukumnya boleh
Pendapat pertama, wakaf uang hukumnya boleh. Ini adalahpendapat dari Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan sebagain ulama Mazhab Syafi’i. Pendapat ini dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Menurut pendapat ini, wakaf uang dijadikan sebagai modal usaha yang keuntungannya disalurkan kepada mauquf ‘alayh sesuai tujuan wakafnya. Mereka juga berpendapat wakaf uang boleh digunakan sebagai pinjaman.
2 Hukumnya tidak boleh
Pendapat kedua, wakaf uang hukumnya tidak boleh. Ini adalahpendapat yang masyhur dalam Mazhab Hanafi, pendapat masyhur dalam Mazhab Syafi’i, sebagian ulama Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanbali.
Menurut pendapat ini, wakaf harta benda yang tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan lenyap bendanya seperti wakaf dinar, dirham, makanan, dan minuman hukumnya tidak boleh.
Dalil yang digunakan adalah hadis berikut:
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Umar berkata kepada Nabi Muhammad SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya. Nabi Muhammad SAW berkata, “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya pada sabilillah.” (HR An-Nasa’i)
3 Menurut Mazhab Sayafi’i
Dalam pandangan Mazhab Syafi’i yang mayoritas dianut oleh muslim di Indonesia dan Asia Tenggara, mewakafkan uang dihukumi tidak sah dan tidak boleh.
Mewakafkan uang itu seperti mewakafkan makanan yang ketika dimanfaatkan hanya bisa untuk sekali habis. Wakaf seperti ini tidak sah karena tidak memenuhi makna wakaf yang dinyatakan dalam dalil yang menuntut harta yang diwakafkan harus bersifat:
- Baqi’ (selalu ada)
- Dawaamul intifa’ (terus menerus)
- Tahbisul asli (penguncian harta wakaf-agar tidak berpindah kepemilikan)
- Intifa’ samarah (pemanfaatan hasil/manfaat harta wakaf).
Benda yang diwakafkan (mauquf) itu sah diwakafkan jika memiliki sifat baaqi atau merealisasikan sifat baqu’ul ‘ain (بقاء العين) dalam bahasa fukaha. Ketika sudah diwakafkan, maka mauquf itu tidak bisa dimiliki siapapun. Tetapi hanya hasilnya yang bisa dimanfaatkan oleh kaum muslimin terus menerus sampai hari kiamat atau sampai harta wakaf itu rusak mengikuti syarat-syarat pemanfaatan yang ditetapkan, semisal tanah.
Wakaf uang tidak memenuhi deskripsi ini. Sebab uang hanya bisa dimanfaatkan sekali dan setelah itu berpindah kepemilikan. Dengan kata lain, uang tidak merealisasikan sifat baqa’ul ‘ain yang merupakan syarat utama harta yang diwakafkan.
Hal ini sama persis dengan wakaf makanan yang hanya bisa disantap sekali dan setelah itu hilang. Makanan hanya bisa disedekahkan/dihibahkan bukan diwakafkan.
Dengan demikian wakaf uang itu tidak sah dan ia hanya sah disedekahkan, dihibahkan atau diinfakkan di jalan Allah.
Selain itu, dalam hukum wakaf, mauquf (harta yang diwakafkan) juga harus bisa disewakan. Tanah, rumah, mobil, senjata bisa disewakan. Jadi benda-benda ini sah diwakafkan.
Uang tidak bisa disewakan, karena jika disewakan maka berpotensi menjadi riba. Jadi tidak sah mewakafkan uang.
Imam An-Nawawi berkata:
الْمَوْقُوفُ، وَهُوَ كُلُّ عَيْنٍ مُعَيَّنَةٍ مَمْلُوكَةٍ مِلْكًا يَقْبَلُ النَّقْلَ يَحْصُلُ مِنْهَا فَائِدَةٌ أَوْ مَنْفَعَةٌ تُسْتَأْجَرُ لَهَا (روضة الطالبين وعمدة المفتين (5/ 314)
“Mauquf (harta yang diwakafkan) adalah setiap benda spesifik yang dimiliki dengan status kepemilikan yang menerima pemindahan dan menghasilkan benda berguna atau manfaat yang bisa disewakan.” (Kitab Raudhatul Thalibin juz 5 hlm 314)
Selanjutnya harta wakaf itu manfaatnya harus terus menerus (dawamul intifa’). Mewakafkan tanah untuk masjid sah, karena manfaatnya terus menerus. Mewakafkan sapi untuk diambil susunya sehingga bisa diminum kaum muslimin yang lewat adalah sah karena manfaatnya terus menerus. Mewakafkan pedang untuk jihad adalah sah karena manfaatnya terus menerus.
Adapun mewakafkan parfum, atau lilin atau nasi rawon, maka wakaf seperti ini tidak sah karena manfaatnya tidak terus menerus.
Imam An-Nawawi berkata:
لَا يَصِحُّ وَقْفُ مَا لَا يَدُومُ الِانْتِفَاعُ بِهِ، كَالْمَطْعُومِ وَالرَّيَاحِينِ الْمَشْمُومَةِ، لِسُرْعَةِ فَسَادِهَا. روضة الطالبين وعمدة المفتين (5/ 315)
“Tidak sah mewakafkan sesuatu yang tidak terus-menerus manfaatnya seperti makanan atau parfum untuk dicium baunya karena itu cepat rusak.” (Kitab Raudhatul Thalibin juz 5 hlm 315)
Demikian juga dengan uang. Uang hanya bisa dipakai sekali. Jadi ia tidak merealisasikan sifat dawamul intifa’. Dengan demikian wakaf uang dianggap tidak sah.
Ibnu Hajar Al-Haitami menegaskan bahwa wakaf uang itu tidak boleh. Artinya tidak sah dan tergolong Tasarruf Batil. Dia berkata, “Mewakafkan uang dirham dan dinar itu tidak boleh.” (Tuhfatu Al-Muhtaaj, juz 4 hlm 269). []
SUMBER: REPUBLIKA