SEBAGIAN besar orang menganggap kemarahan adalah negatif dan destruktif. Padahal marah adalah emosi normal dan bisa menjadi positif bila dikelola dengan baik.
“Emosi marah dapat dirasakan ketika ada hal yang membuat diri tak nyaman, sehingga tubuh merespons dengan peningkatan detak jantung, napas yang lebih cepat, dan ketegangan otot. Kadang disertai rasa panas yang menjalar di dalam tubuh sebagai akibat kerja hormon di dalam tubuh,” kata Azri Augustin Suciati, M.Psi, Psikolog, psikolog di RSJ Ghrasia, Yogyakarta.
Banyak hal yang memicu munculnya rasa marah. Antara lain karena merasa tertekan, terhina, terhambat, dibatasi, dicegah, frustrasi atau merasa diperlakukan berbeda. Kondisi fisik yang sedang sakit, cemas atau lelah kadang juga memunculkan rasa marah.
Walau semua orang mengalami rasa marah, namun ada saatnya orang lebih gampang marah. Menurut Azri, yang menyelesaikan magister profesi psikologi bidang klinis di Fakultas Psikologi UGM ini, ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab seseorang mudah marah.
Pertama, persepsi atau cara pandang seseorang terhadap lingkungan. “Ketika seseorang melihat lingkungan sebagai sesuatu yang berbahaya atau tidak menyenangkan baginya, maka terdapat kecenderungan ia jadi mudah mengekspresikan rasa marah,” jelasnya.
Kedua, faktor kepribadian. Berkaitan dengan pola asuh orangtua, dalam hal ini pola asuh otoriter, yang membentuk anak menjadi pribadi yang penuh kemarahan. “Ini disebabkan ketiadaan kesempatan anak untuk dapat mengungkapkan perasaan atau pemikirannya, sehingga anak tumbuh dengan perasaan frustrasi,” terang Azri.
Ketiga, faktor tekanan atau stres yang tinggi. Seseorang yang tengah berada dalam situasi yang menekan, cenderung akan mudah merasakan emosi marah atau sedih.
Ekspresi Kemarahan
Emosi dapat menjadi faktor pendorong seseorang untuk bertindak. “Misalnya seseorang yang sedih akan menangis. Orang yang merasa gembira mungkin akan menyanyi,” contoh Azri. Begitupun saat marah, akan ada reaksi atau perilaku yang dimunculkan. Kadang yang muncul adalah perilaku destruktif, semisal membanting pintu atau barang, berkata-kata kasar, memukul dan sebagainya. Hingga kemudian emosi marah dianggap sebagai emosi yang negatif. Padahal tidak selalu demikian.
Emosi memang perlu disalurkan dan dikelola, sehingga tidak berlebihan saat mengekpresikannya dengan tindakan. Bila emosi marah terus dipendam dan ditumpuk dalam diri seseorang, suatu saat dia tak lagi kuat menahannya. Pada saat itulah mungkin dia akan meluapkannya secara tidak terkendali hingga membahayakan dirinya sendiri dan orang di sekitarnya.
Azri juga mengungkapkan, banyak orang yang tidak mau menyadari dan mengakui bahwa dirinya sedang marah, sehingga menolak emosi itu. “Nah, kondisi ini justru dapat menjadi masalah. Karena saat kita marah, respons fisiologis otomatis bekerja ketika kita menolak rasa marah. Detak jantung justru semakin meningkat, otot semakin tegang dan sebagainya, hingga memicu respons tidak baik di dalam tubuh,” papar Azri.
Belajar mengelola dan mengekspresikan emosi marah adalah kemampuan yang mesti dimiliki agar marah tak selalu berakibat negatif. Ada beberapa cara yang bisa digunakan.
Pertama, melakukan relaksasi, yaitu proses mengolah napas. Tarik napas panjang, lalu embuskan perlahan. Lakukan terus hingga ketenangan mulai dirasakan dan detak jatung jadi lebih teratur. “Relaksasi dapat membantu kita menurunkan ketegangan sehingga mampu berpikir jernih,” imbuh Azri.
Kedua, melakukan aktivitas fisik. Energi kemarahan yang meluap bisa disalurkan pada aktivitas fisik, seperti berolahraga, mencuci, membersihkan rumah, dan sebagainya. Otot menjadi rileks dan hormon endorfin meningkat sehingga muncul rasa lega.
Langkah-langkah ini sejalan dengan anjuran Rasulullah untuk segera berganti posisi ketika marah. Bila sedang berdiri, maka duduklah atau berbaring. Atau segera berwudhu untuk meredakan marah. Yang penting ada aktivitas lain untuk mengalihkan kemarahan yang meluap.
Setelah melakukan langkah-langkah ini, luapan emosi marah akan meredan walau tentu masih ada, tapi sudah bisa dikelola dengan baik. Logika kembali berjalan sehingga kita bisa berpikir lebih bijak. Pada saat inilah kita memutuskan bagaimana menghadapi orang atau sumber kemarahan lainnya. Kalaupun harus menghadapi si pemicu amarah secara langsung, kata-kata yang kita keluarkan akan lebih terarah. []
Sumber: Ummi