Oleh: Azeza Ibrahim Rizki
Aktivis Kajian Zionisme Internasional
KONFLIK berdarah di salah satu bagian Syam yang Rasulullah muliakan lewat do’anya mungkin masih dipahami oleh kebanyakan kita sebagai perang saudara biasa.
Kita biasa menerima semangat perjuangan rakyat Suriah yang selama kurang lebih empat puluh tahun ditekan dalam rezim tangan besi keluarga Assad. Kita biasa melihat tangis anak-anak serta berbagai penderitaan lainnya yang dialami oleh saudara-saudara seiman kita. Kita pun biasa mendo’akan kebaikan untuk mereka, bahkan rela menyisihkan sebagian harta kita untuk meringankan derita mereka.
Tapi mungkin karena semua sudah biasa kita justru banyak lupa tentang apa point penting yang bisa kita pelajari dari bumi Syam yang mulia.
Makna Perdamaian dan Perjuangan
Kondisi default kita yang tinggal disini tentu sangat berbeda dengan rakyat Suriah disana. Kematian hampir terasa seperti udara yang dihirup, sangat dekat dan hampir tiada waktu yang lewat dari bayang-bayang kematian.
Bandingkan dengan kondisi kita saat ini. Kematian terasa begitu jauh, bahkan mungkin dalam beberapa kesempatan kita menantang kematian. Lihatlah para pengendara yang ugal-ugalan, perokok dan pecandu narkoba yang merusak diri, dan banyak lagi manusia-manusia yang menganggap waktu akan berjalan selamanya tanpa membekali diri untuk urusan akhirat nanti.
Pemahaman akan kematian justru membuat kita lebih menghargai kehidupan. Kita yang jauh dari kata “kematian” ini sungguh sering tersesat ketika memaknai arti sejati dari kehidupan.
Banyak orang bilang, hidup adalah perjuangan. Maka saksikanlah di sekeliling kita, manusia-manusia yang berjuang pagi hingga petang, sayangnya untuk urusan dunia saja. Perjuangan dalam kehidupan seringkali dimaknai semata-mata demi meraih potensi-potensi materi. Perjuangan yang tiada tampak menghasilkan akan selalu dihantui pertanyaan, wani piro?
Lalu saking jauhnya kita dari mengingat mati, kita teramat sering membuat kompromi. Lagi-lagi kesalahpahaman akan kehidupan menerpa, bahwa hidup yang sempurna adalah hidup yang damai-damai saja. Salah memaknai kehidupan, maka “damai” sebagai salah satu instrument pendukung kehidupan juga akan dipahami dengan cara yang salah.
Bukti paling nyata dari kesalahpahaman kita akan perdamaian adalah sikap kita yang sering mencoba mendamaikan antara yang haq dengan yang bhathil. Obsesi akan perdamaian yang salah kaprah menjerumuskan kita pada perbuatan yang sia-sia, karena tiada mungkin kebaikan dicampur dengan dosa.
Syam Menegur Lembut Keluarga Indonesia
Syekh Ahmad Al Khatib As Suri, seorang ulama asal Suriah berkata bahwa kaum muda disana dianugerahi ketangguhan luar biasa lewat faktor iman. Sang Syekh berkata bahwa pemuda disana memahami bahwa kematian itu pasti dan hanya akan mengunjungi mereka sekali, maka mereka selalu mempersiapkan diri untuk menerima kematian dalam kondisi yang sebaik-baiknya.
Pemuda-pemuda mulia ini tidak muncul dari kolong langit begitu saja. Dukungan pemahaman dan motivasi dari orangtua adalah kunci utama munculnya pemuda-pemuda ini. Di Syam sana, akan banyak kita dapati ayah dan anaknya berjihad bersama, ibu yang mendo’akan syahid bagi anaknya, dan pasangan suami istri yang turun ke garis depan bersama.
Keluarga sebagai instrument sosial terkecil dengan karakter yang sedemikian terbukti melahirkan generasi pejuang-pejuang yang tangguh. Lihatlah betapa kayanya Palestina sebagai salah satu bagian dari bumi Syam dengan pemuda-pemuda hafidz Al Qur’an, sedangkan itu hanya sekedar contoh kecil saja.
Maka sungguh tepat ketika Syekh Al Khatib menghimbau para orangtua di negeri ini agar jangan hanya mengurus pakaian yang indah untuk anak, rumah yang baik untuk anak, makanan yang baik untuk anak. Sebab yang terpenting yang harus diberikan kepada seorang anak adalah pendidikan yang baik dan benar.
Sang Syekh mengingatkan para orangtua agar jangan sampai anak-anak mereka kelak justru yang menarik mereka kedalam kobaran api neraka sambil menuntut.
“wahai orangtua kami, mengapa kalian tidak memberikan pendidikan yang benar kepada kami. Sehingga kami dengan mudah dilalaikan oleh perkara dunia.”
Cinta dari Negeri Syam
Sungguh kita harus merasa malu, jika pelajaran yang ditawarkan saudara-saudara kita di bumi Syam sana lewat hilangnya nyawa dan tumpahnya darah, kita acuhkan begitu saja. Jika kita hendak jujur, maka seberapa besarpun sumbangan yang kita berikan kepada saudara seiman kita disana tiada akan pernah seimbang dengan pelajaran dan hikmah yang mereka berikan.
Allahumma baarik lanaa fii syaamina wa fii yamanina
Begitulah do’a Rasulullah untuk bumi Syam dan Yaman yang penuh berkah. Dan telah nyata terbukti didepan kita semua, bahwa walaupun penduduk bumi Syam ditimpa kesusahan, tapi keberkahan selalu menyertai mereka. Bahkan berimbas bagi kita yang berada di Indonesia dengan berkah berupa inspirasi, nasihat dan peringatan.
Ust Abu Harits, Sekjen dari Forum Indonesia Peduli Syam (FIPS) yang juga sempat beberapa kali terjun langsung ke Suriah memberi tips agar kita bisa maksimal mengambil I’tibar dari pengalaman dan kelebihan-kelebihan saudara-saudara kita di bumi Syam.
Pertama, tanamkanlah aqidah yang benar kedalam diri. Terutama tugas orang tua untuk mendidik anaknya mengenal dan mengerti tauhid. Kedua, pelajari serta simaklah siroh nabawiyyah serta sejarah para sahabat Rasullulah SAW. Ketiga, karena inti dari kehidupan adalah untuk beribadah, maka isilah sendi-sendi kehidupan dengan memberi manfaat pada dakwah Islam. []